Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bila Bertengkar di Depan Anak

Kompas.com - 19/10/2008, 14:29 WIB

Konflik atau pertengkaran merupakan hal yang wajar terjadi dalam kehidupan berumahtangga. "Suami atau istri, kan, manusia juga. Nah, sebagai manusia, emosi bisa datang kapan saja," ujar psikolog dari Unika Atma Jaya Jakarta, Dra. Catherine D.M. Limansubroto, MSc.

Lantas, bagaimana jika pertengkaran terjadi di depan anak? Pertengkaran orangtua biasanya akan membuat anak gelisah. Jangan salah, bayi pun bisa merasakan ada sesuatu yang tak beres di antara orangtuanya. Kadang-kadang perasaan itu diungkapkannya dengan menjadi rewel.

Ada beberapa batasan yang dapat membantu agar anak tak terlalu gelisah melihat pertengkaran orangtua. Anak usia balita seringkali berpikir dan percaya bahwa merekalah biang penyebab pertengkaran orangtua. Akibatnya anak akan merasa bersalah. Wajar saja jika mereka langsung berpikiran seperti itu. Pasalnya, daya pikir balita memang belum terlalu berkembang.

Bagi anak yang lebih besar, misalnya usia SD atau remaja, yang muncul biasanya adalah perasaan cemas kalau-kalau orangtuanya bercerai, sesuatu yang menakutkan bagi mereka. Mereka tak bisa membayangkan harus memilih ikut siapa, nanti bagaimana, dan sebagainya.

TOPIK TABU
Untuk menghindari hal tersebut di atas, saat bertengkar sebaiknya orangtua menghindari argumen yang bisa membuat anak-anak ketakutan atau gelisah. Tapi juga jangan berpura-pura, karena anak akan melihat kepura-puraan orangtua. Jadi, pasangan sebaiknya mencoba mengembangkan pola adu argumentasi sedemikian rupa, sehingga mereka dapat melampiaskan apa yang mereka rasakan, tanpa membuat anak gelisah atau ketakutan. Ini sekaligus menjadi pelajaran bagi anak untuk tak perlu menahan perasaan, yang akhirnya justru bisa merugikan mereka sendiri.

Yang jelas, orangtua harus bisa menanamkan pengertian bahwa kemarahan dan pertengkaran itu tak merusak seorang pun. Termasuk tidak merusak kemitraan ayah dan ibu, sekaligus mengajarkan tentang arti perkawinan yang baik pada anak. "Artinya, mengajarkan pada anak-anak bahwa perkawinan itu terdiri dari dua individu yang kadang-kadang berbeda pendapat dan pandangan, tapi punya relasi yang cukup kuat dan fleksibel," terang Catherine.

Bisa saja pertengkaran tak diselesaikan saat itu juga. Yang penting, anak-anak melihat bahwa pertengkaran orangtuanya tak menggelisahkan mereka. Pasangan perlu melatih diri dan meyadari, di depan anak mereka boleh bertengkar, tapi jangan keterlaluan. Untuk anak-anak yang punya rasa ingin tahu yang besar, tak ada salahnya orangtua menjelaskan kenapa dan mengapa mereka bertengkar.

Orangtua juga perlu berhati-hati saat bertengkar di depan anak. Topik-topik tertentu, seperti topik yang sangat serius tentang relasi perkawinan atau topik tentang kecemburuan, sebaiknya tak dipertengkarkan di depan anak. Pasalnya, anak bisa mempunyai persepsi yang salah tentang ayahnya.

Jika perlu, argumennya saja yang dilampiaskan saat itu, tapi isi pertengkaran dibicarakan di saat lain. Topik yang terus-menerus dipertengkarkan juga akan membuat anak memiliki asosiasi menetap bahwa orangtuanya tidak cocok. Akibatnya, akan timbul kecemasan yang lebih mendalam pada anak.
Bertengkar sambil menggebrak meja, misalnya, juga tak baik bagi anak. Pasalnya, anak akan belajar dari apa yang dilihatnya. Ia pun akan meniru menggebrak meja ketika marah.

TEMPAT YANG PAS
Yang juga perlu diperhatikan adalah waktu dan tempat bertengkar. Waktu yang paling buruk untuk bertengkar adalah here and now, sekarang dan di sini. Pasalnya, itu berarti pertengkaran harus diselesaikan ketika emosi sedang tinggi-tingginya.

Saat yang juga kurang baik untuk bertengkar adalah sepulang dari kantor, atau saat makan. Saat yang paling tepat untuk bertengkar adalah saat dimana pasangan dapat memfokuskan pikiran dan energi pada masalah yang ada. Tempatnya tentu pasangan sendirilah yang tahu. Bisa saja di tempat tidur, teras belakang rumah, atau tempat lain di mana mereka bisa bicara sepenuhnya.

Upaya untuk menurunkan emosi juga bisa dilakukan dengan berbagai cara, tergantung masing-masing pasangan. Bisa dengan berkebun, main game di komputer, atau pergi dari rumah untuk sementara waktu. Tapi, pergi dari rumah (purik) untuk menghindari dan menyelesaikan konflik bukan hal yang tepat.
Ini juga sama tak efisiennya dengan diam seribu bahasa atau bersikap acuh tak acuh, dengan harapan suatu saat pertengkaran akan hilang sendiri. Diam berarti hilangnya komunikasi dan itu justru akan menggerogoti kelangsungan perkawinan.

Harus diingat, perkawinan adalah bertemunya dua individu dengan latar belakang, sejarah, pengalaman, dan keinginan yang berbeda. Nah, keinginan, atau mungkin luka lama yang perlu disembuhkan inilah yang perlu dikomunikasikan pasangan dalam ikatan perkawinan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com