Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tinggi, Kelahiran Bayi Prematur di Indonesia

Kompas.com - 13/11/2008, 05:37 WIB

DEPOK, KAMIS - Setiap tahun diperkirakan lahir sekitar 350.000 bayi prematur atau berat badan lahir rendah di Indonesia. Tingginya kelahiran bayi prematur tersebut karena saat ini ada 30 juta perempuan usia subur yang kondisinya kurang energi kronik dan sekitar 50 persen ibu hamil mengalami anemia defisiansi gizi.

”Tingginya prevelansi berat badan lahir rendah (BBLR) umumnya karena dari ibu hamil yang kurang gizi. Akibatnya, pertumbuhan janin terganggu sehingga berisiko lahir dengan berat di bawah 2.500 gram,” kata Kusharisupeni Djoko Sujono dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar tetap dalam Ilmu Gizi Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Ilmu Gizi Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia di Depok, Rabu (12/11).

Kusharisupeni mengatakan, persoalan bayi dengan kondisi BBLR ini perlu diatasi dengan serius. Di Indonesia, diperkirakan prevelansi BBLR mencapai 7-14 persen, bahkan pada beberapa kabupaten mencapai 16 persen. Padahal, berdasarkan simposium Low Birth Weight di Dhaka, Banglades, tingkat indikasi BBLR lebih dari 15 persen dimaknai adanya masalah kesehatan masyarakat yang penting dan serius.

Menurut Kusharisupeni, status gizi ibu hamil yang rendah ini sebenarnya ditentukan jauh sebelum terjadi kehamilan, yaitu selama masa kanak-kanak hingga dewasa. Dilaporkan sekitar 50 persen anak-anak yang kurang gizi adalah perempuan.

”Kondisi ini bisa membuat siklus daur kehidupan kurang gizi terulang. Akibatnya, kurang gizi dari generasi ke generasi di Indonesia masih ada dan akan terus berlanjut,” ujarnya.

Kurang gizi pada masa anak balita mengakibatkan ada 11 juta anak usia sekolah yang tergolong tinggi badannya pendek. Sebanyak 8,1 juta anak balita, 10 juta anak usia sekolah, 3,5 juta remaja putri, dan 2 juta ibu hamil menderita anemia gizi besi.

Di semua negara, kurang gizi pada anak berkaitan dengan kemiskinan, rendahnya pendidikan dan pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi, serta rendahnya akses ke pelayanan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi dan keluarga berencana.

Kusharisupeni menjelaskan, bayi prematur yang hidup banyak menderita gangguan kognitif dan neurologis. Selain itu, juga berisiko terhadap penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, jantung, dan stroke.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com