Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buruh Migran sebagai Tumbal

Kompas.com - 15/06/2009, 05:44 WIB

Wahyu Susilo Filosofi

”korban sebagai tumbal” diperlihatkan para petinggi negeri ini saat merespons kasus-kasus penganiayaan keji yang dialami buruh migran Indonesia (tenaga kerja Indonesia), terutama pembantu rumah tangga yang bekerja di luar negeri.

 Ilustrasi yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat merespons kasus Siti Hajar dengan menceritakan perjumpaannya dengan 50 TKI asal Arab Saudi yang di Bandara Soekarno-Hatta ”hanya” ditemukan tiga TKI bermasalah (detik.com, 11/6/2009) menyiratkan penegasan, sebenarnya TKI yang menjadi korban (TKI bermasalah) ”hanya sedikit”.

700 TKI meninggal

Mengecilkan penderitaan TKI korban penyiksaan, apalagi dengan angka-angka kuantitatif, dan membandingkan dengan sejumlah besar TKI yang tidak menjadi korban, sama dengan melegitimasi pengorbanan TKI sebagai tumbal pembangunan. Tindakan ini yang tidak jauh berbeda dengan sikap yang selalu mengelu-elukan TKI sebagai pahlawan devisa, tetapi alpa pada upaya perlindungannya.

Penderitaan Siti Hajar (dan puluhan ribu TKI lain yang mengalami penganiayaan, pemerkosaan, bahkan berujung kematian) adalah buah kegagalan kebijakan penempatan TKI yang selama ini lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi ketimbang upaya pemenuhan hak warga negara untuk bekerja secara aman.

Amat mengherankan dan menyedihkan jika para petinggi negara terus berdiam diri saat nyawa-nyawa TKI di luar negeri melayang dan dipertaruhkan dalam kerentanan tanpa perlindungan. Menurut catatan Satgas Perlindungan WNI KBRI Kuala Lumpur, sepanjang 2008, ada 700 TKI yang meninggal dunia di Malaysia. Artinya, setiap hari ada dua TKI yang mati. Catatan kematian ini belum termasuk mereka yang meninggal di Singapura, Hongkong, dan Timur Tengah. Hingga kini terdaftar 175 TKI terancam hukuman mati (data Migrant Care, 2009). Penderitaan itu belum berhenti hingga hari ini. Atau mereka telah memaklumi, ternyata ”hanya” 700 TKI yang mati, masih banyak yang berhasil dan mengalirkan remitansi sebesar 8,6 miliar dollar AS (atau sekitar Rp 100 triliun) ke Tanah Air.

Kepedulian dan keprihatinan para petinggi negara terhadap nasib TKI hanya ditunjukkan lima tahun sekali sebagai komoditas politik. Setelah itu tak ada perubahan kebijakan berarti, sama dengan kebijakan yang menempatkan TKI sebagai komoditas ekspor nonmigas. Jika kali ini korbannya Siti Hajar, lima tahun lalu korbannya Nirmala Bonat.

Kasus Nirmala Bonat terungkap pada Mei 2004, waktu yang sama saat para calon presiden berkompetisi mendulang simpati. Saat itu, semua capres menyatakan prihatin atas kasus Nirmala Bonat, tetapi tak ada yang peduli lagi saat persidangan Nirmala Bonat berlangsung maraton selama empat tahun. Hingga kini Nirmala Bonat belum mendapatkan keadilan sejati. Meski majikan Nirmala Bonat divonis 18 tahun penjara, vonis itu bisa dibeli dengan jaminan. Majikan Nirmala Bonat hanya berada di penjara selama seminggu dan kini bebas dengan jaminan.

Bukan pelajaran

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com