Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekerasan Anak Belum Berakhir

Kompas.com - 09/11/2009, 11:17 WIB

Semarang, Kompas - Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun, upaya itu belum cukup menghentikan adanya kekerasan terhadap anak. Mayoritas kekerasan terjadi dalam keluarga miskin dan umumnya para pelaku adalah orang-orang terdekat si anak.

Padahal, orang-orang terdekat seperti keluarga, guru, kerabat, dan tetangga adalah tumpuan si anak mendapat rasa aman dan perlindungan. Bahkan, pemerintah pun terkesan mengabaikan hak anak karena hingga kini tiada anggaran untuk perlindungan anak. Seolah terbitnya UU Nomor 23/2002 menjadi satu-satunya jawaban.

Koordinator Jaringan Peduli Perempuan dan Anak (JPPA) Jawa Tengah Agnes Widanti, Sabtu (7/11), di Semarang, mengatakan, dalam keluarga miskin, orangtua fokus mencari penghasilan sehingga kerap mengabaikan hak-hak anak. Pada kondisi demikian, anak cenderung menjadi sasaran eksploitasi dan kekerasan.

Mereka yang berasal dari keluarga miskin dan kurang pendidikan kerap kali merugikan si anak. Misalnya, mengabaikan pendapat si anak karena mereka menganggap anak belum dapat berpikir.

Direktur Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Evarisan mengatakan, selain faktor ekonomi, faktor penyebab kekerasan lainnya adalah sosial dan budaya.

Dalam budaya patriarki, posisi anak hampir selalu menjadi inferior. Orang dewasa menjadi terlalu berkuasa dan anak boleh diabaikan. Kondisi itu menyebabkan anak rentan terhadap kekerasan dan tidak tahu hak-hak mereka.

Kekerasan terhadap anak meliputi pula penganiayaan fisik dan psikis serta kekerasan seksual. Bagi anak perempuan, mereka lebih rentan lagi ketimbang anak laki-laki karena mereka dianggap lebih lemah.

Berdasarkan kasus yang ditangani LRC-KJHAM pada 2007-2008 di Jateng, dari 153 korban perkosaan yang semuanya perempuan, 103 korban di antaranya adalah anak berusia di bawah 18 tahun.

Kasus kekerasan terhadap anak berdampak buruk dan sulit disembuhkan. Kekerasan berdampak fisik, disorientasi terhadap masa depan, depresi berat, traumatis, dan kehilangan kepercayaan terhadap orang lain.

"Penanganan secara psikologis bagi mereka menjadi sangat penting," kata Evarisan.

Di Kota Solo, kasus kekerasan terhadap anak didominasi kasus eksploitasi seksual komersial (ESK) berupa prostitusi, pornografi, dan perdagangan manusia.

"Dalam 90 persen kasus ESK terhadap anak, berawal dari anak berhubungan seksual dengan pacarnya," kata Sri Lestari dari Yayasan Kakak yang mendampingi anak-anak korban ESK.

Minggu (8/11), Manajer Divisi Anak Yayasan Kakak Shoim Sahriati mengatakan, mereka mayoritas berpacaran dengan orang yang berusia lebih tua. Sering kali pacar mereka yang kemudian dengan sengaja menjerumuskan anak ke dunia prostitusi, bahkan perdagangan manusia.

Ironisnya, upaya perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia masih diskriminatif dan kontraproduktif. Misalnya, UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Namun, UU Perkawinan mencantumkan anak adalah mereka yang berusia di bawah 16 tahun. hal itu perlu segera direvisi. (DEN/ILO/EKI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com