Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Obat Generik Tak Bergigi?

Kompas.com - 22/02/2010, 04:03 WIB

Lalu, bagaimana dengan dokter? Mengapa mayoritas dokter lebih senang meresepkan obat merek dagang? Bukan rahasia lagi, ada insentif tak kasatmata di balik peresepan obat merek dagang. Tiket dan akomodasi gratis di hotel bintang lima untuk menghadiri seminar atau kongres yang didanai industri farmasi. Sarapan pagi ala Eropa, makan siang sepuasnya, makan malam di restoran mahal, siapa yang tak suka?

Toh, dokter perlu menambah ilmu, mengumpulkan poin demi poin agar setelah lima tahun dapat memperpanjang lagi izin praktik, sesuai UU Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004. Kelompok dokter seperti ini sering berujar ke pasien, kalau ingin cepat sembuh, jangan minum obat generik. Dokter yang secara tegas menyangsikan mutu obat generik juga tidak sedikit. Pemerintah sendiri dianggap tak transparan soal produsen yang nakal, yang sebetulnya belum 100 persen memenuhi persyaratan cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Jadi, tak salah kita menyebut masalah obat, dokter, industri farmasi, dan pemerintah sebagai circulus vitiosus (lingkaran setan).

Masyarakat sendiri terpolarisasi secara acak mengenai obat generik ini. Jika dulu kelompok sosial-ekonomi menengah dan atas merasa alergi terhadap obat generik, akhir-akhir ini pun masyarakat miskin sudah terpapar secara sistematik dengan istilah obat generik adalah obat yang tidak menyembuhkan. Beginilah nasib obat generik. Di kota tidak dipercaya, di daerah pelosok mulai terpojok.

Masalah mendasar lain yang tak kalah penting adalah bahan baku obat. Sekitar 96 persen bahan baku obat masih impor dan sangat rentan terhadap fluktuasi dollar AS. Sulit memang, tetapi bukannya tak ada solusi. Kebijakan obat harus disusun lebih komprehensif. Industri farmasi yang tak lagi mau memproduksi obat generik dengan alasan minim profit perlu dijewer. Kalau perlu, pengajuan registrasi untuk obat berikutnya disuspensi untuk efek jera. Pemerintah perlu terus mendorong pemberlakuan managed care secara nasional. Hanya lembaga asuransi berskala besar, seperti PT Askes yang memiliki posisi tawar sangat tangguh dalam memperoleh obat dengan harga masuk akal.

Ikatan Dokter Indonesia juga harus mengambil peran sentral mengingatkan para dokter bahwa salah satu area kompetensi dokter adalah moral, etika, dan medikolegal. Jika di Malaysia semua dokter pemerintah wajib menuliskan resep dalam bentuk nama generik, mengapa itu sulit dilakukan di negara ini? Pemerintah juga tidak boleh membiarkan industri farmasi yang belum CPOB 100 persen; karena melindungi industri farmasi nakal akan selalu memberi citra obat generik sebagai obat yang mutunya rendah.

Terakhir, diseminasi informasi yang seimbang, terbuka, dan lugas harus selalu didengungkan ke masyarakat bahwa obat generik memiliki mutu sama dengan obat merek dagang. Biarlah masyarakat yang menilai industri farmasi mana yang menghasilkan obat yang patut dikonsumsi karena terbukti mutunya.

Iwan DwiprahastoPemerhati Masalah Obat dan Kesehatan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com