Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kampus Cenderung Menutupi Penjiplakan

Kompas.com - 23/02/2010, 09:51 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.COM - Perguruan tinggi cenderung menutupi kasus-kasus penjiplakan yang dilakukan mahasiswa ataupun dosen. Akibatnya, penelusuran ataupun pembuktian dugaan kasus penjiplakan sulit dilakukan.

Berdasarkan penelusuran pada indikasi penjiplakan yang telah diketahui pihak luar kampus, pada proses klarifikasi perguruan tinggi terkesan menutupi. Dalih yang digunakan antara lain adalah salah cetak oleh pihak penerbit karya ilmiah, ketidaktahuan dosen bersangkutan terhadap batasan kutipan yang diperbolehkan, atau kutipan diizinkan oleh pembuat karya ilmiah asli.

Kasus yang muncul pun cenderung tidak diusut secara tuntas. Adapun untuk kasus yang belum didengar pihak luar, perguruan tinggi cenderung menyembunyikannya.

Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah V Yogyakarta Budi Santosa Wignyosukarto berpendapat, hal itu terjadi karena perguruan tinggi ingin menyelamatkan citra institusi. Pengakuan penjiplakan oleh dosen secara otomatis menjatuhkan citra perguruan tinggi tersebut.

"Mengakui penjiplakan telah terjadi sama halnya dengan mengakui aib sendiri,” ujarnya di Yogyakarta, Senin (22/2/2010).

Faktor penyebab lain adalah budaya sungkan antarkolega di perguruan tinggi. Akibatnya, fungsi pengawasan tim penilai angka kredit di tingkat universitas lemah. Tindakan penjiplakan cenderung dibiarkan tidak ditindak meskipun telah menjadi rahasia umum di kampus.

Orang tidak suka

Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Islam Indonesia (UII) Sarwidi mengatakan, meskipun telah diketahui selama beberapa bulan terakhir, saat ini proses klarifikasi di UII terhadap dua dosen yang terindikasi menjiplak masih berlangsung.

"Sidang kode etik belum berjalan, masih menunggu proses klarifikasi selesai dulu," ujarnya.

Menurut Sarwidi, selama ini telah terdapat beberapa laporan indikasi penjiplakan di UII yang ternyata tidak terbukti. "Bisa jadi karena ada orang yang tidak suka kemudian melaporkan salah satu dosen atau ada salah informasi," katanya menambahkan.

Sejumlah guru besar di Yogyakarta mendukung sanksi tegas terhadap dosen atau guru besar yang terbukti menjiplak karya ilmiah. "Kode etik akademik harus ditegakkan karena penjiplakan merupakan kejahatan akademik yang berat," kata guru besar Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada (UGM) Jumina.

Garuda diefektifkan

Secara terpisah, di Surabaya, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh mengatakan, Kementerian Pendidikan Nasional akan mengefektifkan kembali portal penemuan referensi ilmiah Garba Rujukan Digital atau Garuda. Langkah ini untuk meminimalkan terjadinya penjiplakan karya.

"Seluruh karya ilmiah harus diunggah melalui portal tersebut sehingga perguruan tinggi ataupun Kementerian Pendidikan Nasional bisa mengontrol karya ilmiah seseorang," kata Mendiknas.

Lebih lanjut, Mendiknas menegaskan, kebijakan pemerintah terkait pencopotan gelar guru besar bagi akademisi yang terbukti melakukan penjiplakan berlaku, baik pada masa sekarang maupun masa lalu.

"Semua gelar hakikatnya tak ada yang abadi, semua gelar ada kondisionalitasnya. Apabila hal ini tak terpenuhi, gelar akan hilang dengan sendirinya," ujarnya.

Wakil Mendiknas Fasli Jalal menyatakan, jika terjadi pelanggaran, rektor berhak memberikan sanksi sesuai tingkat pelanggaran. (IRE/ABK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com