Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menata Hidup Setelah Stroke

Kompas.com - 15/03/2010, 06:56 WIB

Stroke mengubah hidup seseorang secara drastis. Bagi mereka yang selamat, stroke menyimpan ”luka” yang sulit untuk dipulihkan. ”Luka” itu berupa cacat pada beberapa anggota tubuh sekaligus sebagai akibat dari otak yang cedera.

Dampak dari ”luka” itu adalah hilangnya kemandirian. Apa yang dulu bisa dilakukan sendiri, sekarang harus bergantung kepada orang lain. ”Hilangnya kemandirian membuat penderita stroke sering merasa frustrasi,” kata Dr Nizar Yamanie, ahli saraf di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Selain kemandirian, kesulitan untuk berkomunikasi juga membuat penderita stroke putus asa. Rahardi (45) yang pernah terkena stroke tiga tahun lalu sering membentur-benturkan kepalanya ke tembok karena putus asa. Pria yang tinggal di Cengkareng, Jakarta Barat, ini jengkel bila tidak ada orang yang mengerti dengan kata-kata yang dia ucapkan.

Di rumahnya Rahardi tinggal bersama istrinya, yang bekerja sebagai sekretaris sebuah perusahaan di Jakarta, bersama dua keponakan dan seorang pembantu rumah tangga. Karena bicaranya tidak lagi jelas, tidak semua orang bisa mengerti apa yang diucapkan Rahardi, kecuali sang istri. Padahal, sang istri sering kali bekerja sampai malam hari.

Kenyataan bahwa separuh tubuhnya tidak bisa digerakkan membuat Ade sempat merasa putus asa. Setelah sadar dari koma, bagian tubuh Ade sebelah kanan lumpuh total. Semula ia sama sekali tidak bisa bangun dan hanya berbaring saja di sofa ruang keluarga di rumahnya, Cinere, Jakarta Selatan.

”Saya merasa layu seperti tumbuhan kekurangan air. Hidup seperti tidak berguna lagi. Tetapi kemudian saya berpikir, tidak ada orang lain yang bisa menolong kecuali diri saya sendiri,” kata Ade. Tekad itu tertanam kuat di benak Ade. Sejak saat itu ia mulai berlatih menggerakkan tangan, bangkit dari tempat tidur, dan pelan-pelan meninggalkan kursi roda untuk belajar berjalan.

Berkegiatan

Berkat ketekunan berlatih, tangan dan kaki kanan Ade sudah bisa digerakkan meski masih kaku. Ia juga sudah mahir berjalan dan menyetir mobil sendiri untuk menjalani aktivitasnya, seperti rapat di kantornya di kawasan Serpong atau bergaul dengan teman-temannya. Ade bahkan sudah pergi ke luar kota untuk menangani proyek-proyeknya.

Anton perlahan juga menata hidupnya meski terkadang masih sulit menerima bahwa sebagian anggota tubuhnya tidak berfungsi dengan baik. Menurut Mima (35), istri Anton, setelah terkena stroke, suaminya lebih banyak menutup diri dari pergaulan. Ia lebih banyak berkomunikasi dengan teman-teman lamanya melalui surat elektronik dan jarang sekali mau bertatap langsung dengan mereka. ”Mas Anton masih merasa malu karena kondisi fisiknya tidak seperti dulu lagi,” kata Mima.

Agar hidupnya lebih berarti, Anton yang seniman dan juga seorang dokter ini memutuskan untuk membuka praktik lagi. Keinginan untuk berpraktik, kata Mima, justru didorong oleh pasien-pasien langganan Anton yang merasa kehilangan dengan sosok dokter yang cepat akrab ini.

Seminggu sekali, pada Rabu dari pukul 11.00-14.00, Anton berpraktik di kliniknya di Cilandak, Jakarta Selatan. Dengan kursi roda, Anton melayani pasien-pasiennya dengan dibantu tujuh asistennya. Satu asisten bertugas menerjemahkan kata-kata Anton, asisten lain membantu memberikan obat-obatan kepada pasien, dan dua asisten membantu pijat refleksi serta dua asisten yang membantu mengangkut bahan-bahan obat. Satu lagi asisten cadangan yang punya multitugas.

Lusiana Indriasari

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com