Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meredam Cemas di Alam Meditasi

Kompas.com - 25/04/2010, 04:58 WIB

Lusiana Indriasari

Ketika sedang bermeditasi di Gunung Lawu, Jawa Timur, Rsi Markandya melihat sinar terang dari arah timur. Dalam visinya, ia melihat deretan pegunungan subur nan menghijau.

 

Rsi Markandya lalu membawa pengikutnya menuju cahaya tersebut. Sampailah ia di Pulau Dawa atau Bali. Bersama 400 orang yang ia bawa, pendeta Hindu asal India ini membuka lahan-lahan pertanian di kaki Gunung Agung.

Dalam lontar (catatan yang ditulis di atas daun lontar) Markandya Purana yang diungkap Hermawan Kertajaya dalam bukunya, Ubud The Spirit of Bali, disebutkan bahwa setelah menetap beberapa lama, Rsi Markandya melanjutkan perjalanan ke arah perbukitan di sebelah barat. Karena saat itu belum ada jalan, ia menyusuri sungai untuk bermeditasi.

Di sungai itu sang pendeta sering mandi dan meyakini bahwa air sungai tersebut memiliki kekuatan penyembuhan. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Wos, kependekan dari kata ”wosada”, bahasa Sanskerta yang berarti sehat.

Dalam perkembangannya, kata ”wosada” kemudian diadaptasi menjadi kata ”ubad” atau ”ubud” yang berarti obat. Di sungai itu Rsi Markandya mendirikan Pura Gunung Lebah sebagai tempat pemujaan.

Para spiritualis dari Bali meyakini, cahaya spiritual yang ditemukan Rsi Markandya inilah yang menjadi daya tarik misterius wilayah bernama Ubud, sebuah kecamatan di Kabupaten Gianyar, Bali. ”Para spiritualis dari Barat bisa merasakan getaran cahaya yang ada di Ubud. Mereka yang datang menemukan ketenangan dan kedamaian,” kata Gede Prama, spiritualis asal Bali yang tinggal di Jakarta.

Ketika kehidupan modern yang cenderung mengagungkan materi mulai ditinggalkan oleh sebagian orang di negara-negara Barat, Ubud menjadi salah satu tempat yang dilirik mereka. Dari masa ke masa, tempat ini semakin ramai diserbu pendatang dari luar negeri.

I Made Gunarta, seniman dari Ubud, mengatakan, pendatang pelan-pelan menyerap prinsip Tri Hita Karana yang menjadi tradisi kehidupan masyarakat Ubud dan Bali pada umumnya. Prinsip ini mengajarkan tiga cara menuju kebahagiaan, yaitu membangun harmonisasi dengan Tuhan, alam, dan sesama manusia.

 

Meramaikan Ubud

 

Kedatangan para pemburu spiritualisme dari Barat inilah yang dalam perkembangannya menghidupkan Ubud. Mereka yang menetap di kota ”pedesaan” ini kemudian membuat berbagai kegiatan untuk meramaikan sekaligus memutar roda perekonomian Ubud.

Balispirit Festival, yang digelar 31 Maret-4 April 2010 di Ubud, bisa dilihat dalam kerangka tadi. Aktivitas spiritual ini secara rutin telah diadakan sejak tahun 2008. Menurut Noviana Kusumawardhani, Marketing dan Communications Director Balispirit Festival, kegiatan tahunan ini diadakan tidak pada musim liburan, yaitu sekitar Maret-April.

”Pada saat itu Ubud sepi karena tidak banyak wisatawan yang datang,” kata Noviana. Tetapi, selama festival berlangsung, hotel-hotel di Ubud penuh. Beberapa penyewaan mobil dan motor juga kewalahan melayani tamu.

Balispirit Festival menjadi semacam oase bagi mereka yang ”haus” dengan pencarian spiritual. Dalam satu hari, mulai pukul 07.30 hingga 17.15 peserta bisa ”mencicipi” berbagai jenis yoga dan meditasi di Purnati Centre of The Arts, Batuan, Ubud, tempat kegiatan itu dilaksanakan.

Di bawah tenda yang dipasang panitia, Katy Appleton (Inggris) yang menjadi pelatih yoga Victoria Beckham, misalnya, siap melatih keseimbangan badan dan pikiran dengan gerakan-gerakan Apple Yoga. Peserta diajak untuk meregangkan tubuh dengan berdiri di atas satu kaki, menekuk-nekuk badan, dan bermacam bentuk gerakan lainnya.

Pada sesi lain, Rachel Zinman (Australia) mengajarkan Sacred Yantra, yaitu bermeditasi dengan cara menyusun bunga-bunga menjadi sebuah gambar. Bagi yang sudah lama tidak merasakan nikmatnya tertawa, Kadek Suambara, yogis dari Bali, mengajarkan yoga tertawa untuk membuka tujuh cakra dalam tubuh manusia.

Peserta yang ikut yoga tertawa ini duduk bersila dengan telapak kaki ditangkupkan. Mereka kemudian diajak tertawa dengan mengucap: ha, hi, hu, he, ho. Siang itu seorang peserta berjanggut lebat tertawa sampai berguling-guling pada saat berlatih yoga tertawa ini.

”Karena kesibukan kerja dan tekanan hidup, orang menjadi lupa untuk tertawa. Hidup selalu dihadapi dengan penuh ketegangan sehingga menjadi stres,” kata Kadek Suambara. Sejak tahun 2007, Suambara membuka pusat yoga dan meditasi Taman Hati di Ubud. Ia juga memiliki pusat penyembuhan tubuh, pikiran, dan jiwa bernama Ambar Ashram.

 

Kemasan spiritual

Balispirit Festival menjadi semacam puncak perayaan spiritual di Ubud. Untuk menyiapkan kegiatan ini, ada sekitar 200 sukarelawan yang bekerja tanpa pamrih. Mereka memiliki tugas bermacam-macam, seperti menjaga pintu masuk, membersihkan sampah, mendekorasi tempat kegiatan, dan menyiapkan panggung,

Jauh sebelum festival diadakan, Ubud sudah menjadi tempat tujuan wisata spiritual. Menurut Kadek Suambara yang menggiatkan program sehat tanpa obat melalui yoga dan meditasi di Bali, pusat-pusat yoga di Ubud mulai bermunculan sekitar tahun 1995.

Ketika itu ada permintaan dari hotel-hotel di Ubud yang mencari guru yoga untuk tamu-tamunya. Selain membuka peluang menjadi guru yoga di hotel, permintaan itu juga direspons oleh mereka yang jeli melihat peluang dengan mendirikan pusat-pusat yoga dan meditasi di kawasan Ubud.

Paket yang disediakan bermacam-macam. Untuk kelas pelancong atau backpakers, kelas yoga dengan menginap di penginapan sederhana dikenai biaya Rp 250.000-Rp 400.000 per hari sudah termasuk makan pagi. Sebelum sarapan, para tamu berlatih di halaman penginapan yang direkayasa sedemikian rupa sehingga nyaman untuk bermeditasi.

Hotel Royal Pita Maha bahkan menyulap lembah menjadi tempat yoga dengan vila-vila pribadi untuk beristirahat tamu. Di lembah milik hotel tadi ada 10 vila yang masing-masing memiliki kolam renang sendiri. Gemercik aliran Sungai Ayung dengan tebing-tebing tinggi di atasnya menemani keheningan tamu yang beryoga dan meditasi pada pukul 06.00.

Selesai meditasi, mereka dijamu dengan sarapan pagi, makan siang, dan malam dengan bahan serba organik, lalu mandi sauna, Jacuzzi, spa, dan pijat. Ada juga kelas memasak dan masih banyak fasilitas lainnya. Untuk mendapatkan ketenangan itu, tamu membayar sekitar Rp 17.300.000 dengan menginap selama empat hari dan tiga malam.

”Kami tidak mengomersilkan spiritual. Tamu yang datang membayar untuk fasilitas yang diberikan. Di zaman sekarang mana ada orang yang mau bermeditasi atau latihan yoga di tempat-tempat terpencil seperti di gua atau hutan,” kata Pande Sutawan, Direktur Sales dan Marketing Royal Pita Maha.

Orang mulai keranjingan dengan dunia spiritual ketika mereka mulai menyadari bahwa materialisme tidak bisa memecahkan segalanya. Selain itu, penyakit sosial juga muncul dalam wajah yang semakin mengerikan, seperti tingkat kekerasan maupun angka bunuh diri yang terus meningkat. Semua itu mengundang kecemasan.

”Kalau kemudian meditasi dan yoga dikemas menjadi gaya hidup dengan kemasan mewah itu sah-sah saja karena latihan spiritual ini ’diramaikan’ oleh orang-orang Barat yang sudah kaya sejak abad ke-17,” kata Gede Prama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com