”Kita harus paham bahwa halusinasi dan waham itu berat. Bayangkan kalau setiap saat Anda merasa dikejar-kejar pocong, pasti Anda teriak-teriak ketakutan,” katanya.
Untuk mengatasi gejala psikotik itu, dokter biasanya memberikan obat antipsikotik. Pengobatan berlangsung lama, bahkan sebagian penderita harus minum obat sepanjang hidupnya.
Sejak mengetahui kakaknya menderita skizofrenia, Bagus tahu bagaimana menangani kakaknya. Bagus dan keluarganya meneruskan pengobatan Bayu. ”Alhamdulillah, kondisinya sekarang sudah pulih 90 persen. Dia sudah sadar apa yang terjadi pada dirinya dan rajin minum obat,” katanya.
Seiring dengan itu, lanjut Bagus, situasi tegang di keluarganya segera mencair. ”Kami sekeluarga bisa menata kembali hidup kami. Itu penting sebab selama 10 tahun kami tegang terus,” kata anak keenam dari delapan bersaudara ini.
Hal yang sama dilakukan Tunggal. Dia berusaha memperlihatkan kasih sayang dan perhatiannya kepada Pak Wi. ”Tahun 2007, kami sadar Pak Wi suka melukis karena dia suka mencoret-coret tembok tetangga. Kami pun menyediakan alat lukis, seperti kertas, kanvas, papan, spidol, dan cat minyak.”
Pak Wi pun tenggelam dalam keasyikan melukis. Dia bisa menggambar terus-menerus dari pagi sampai malam. Tidak heran, dalam setahun, dia bisa menghasilkan 1.000-an lukisan. ”Kalau dia melukis, saya selalu mengacungkan jempol dan berkata, ’bagus’,” kata Tunggal.
Sejak melukis, Pak Wi tidak pernah mengamuk atau keluyuran lagi. ”Saya senang melihat perkembangannya,” ujar Tunggal.
Clara berpendapat, keluarga memang sebaiknya memberikan aktivitas yang disenangi penderita skizofrenia. Dengan begitu, emosi penderita bisa tercurahkan pada kegiatan tersebut. Secara logis, kegiatan itu juga bisa mengalihkan halusinasi dan waham yang sering menyerang penderita skizofrenia.
”Jangan biarkan mereka sendirian, mengurung, bahkan merantai mereka. Itu membuat penderita tertekan dan stres,” katanya.