Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/12/2010, 09:36 WIB

KOMPAS.com — Agama mestinya mendamaikan. Akan tetapi, agama yang menekankan pada penilaian-penilaian buruk memantapkan citra diri negatif. Agama yang sekadar dipahami dan digunakan sebagai bentuk penghukuman (pada diri sendiri dan pihak lain) hanya akan menghancurkan.

Seorang gadis muda mengirim surat ini: ”Mama baik, tiap pagi masak untukku, kerja cari uang untuk aku. Tapi juga sangat mudah marah. Waktu kecil aku terpaksa tidur siang karena takut dihukum. Aku tidak berani membayangkan rotan kemoceng yang dipegang mama tiap menemani aku mengerjakan PR atau belajar. Aku harus sempurna dan bisa menjawab semua pertanyaan. Aku sebenarnya lambat berpikir dan sensitif dengan bentakan.

Ketika mama membentak, aku langsung menangis. Mama akan semakin marah karena aku terlalu cengeng. Di masa remaja aku malu dengan penampilanku sendiri. Aku sering berbeda pendapat dengan mama, dan itu sering berakhir dengan teriak-teriakan dari mama. Aku kasihan pada mamaku, yang sangat mengabdi pada papa tapi diperlakukan kasar dan dihina-hina oleh papa. Aku berjanji dalam hatiku, suatu saat ketika aku menikah, aku ingin mengajak mama tinggal denganku. Tapi tiap berbeda pendapat mama malah bilang: ”Tidak tahu terima kasih! Aku tidak akan mau tinggal dengan kamu, tidak ngerti agama, anak durhaka...!’

Aku sungguh berdosa. Berdosa. Berdosa. Berdosa. Jahat. Jahat. Durhaka. Aku memarahi diriku yang berbeda pendapat dengan mama dan bodoh. Aku malu, aku tak berdaya. Aku ingat teriakan-teriakannya: ’Bodoh! Merasa pintar, padahal belum tahu apa-apa! Sialan! Anjing! Anak setan! Aku pastikan, nanti kalau punya suami, dia pasti memukuli kamu!’. Mama bilang, meski orang-orang selalu memuji aku tapi mama tidak pernah bangga malah malu karena tahu siapa aku sebenarnya yang tidak ngerti agama.

Aku ingin pergi. Tapi agama bilang aku tidak boleh durhaka, harus menjaga orangtua. Aku bilang pada kakakku, aku mau kos. Ia langsung teriak marah dan mengancamku, ”Kalau sampai terjadi apa-apa pada mama, semua itu adalah salah kamu!!!! Ngerti kamu?!!” Brak!!! Pintu pun dibanting.

Aku urung pergi. Tak mampu membayangkan perasaan berdosa membiarkan mama sendiri bertahan hidup dengan suami yang tidak pernah memberi uang sepeser pun sejak pernikahan mereka. Aku berharap agama membantuku menjadi lebih dewasa menerima kenyataan hidup, merasa lebih tenteram dan damai. Tapi hingga sekarang bahkan aku masih membenci diri sendiri, belum dapat berdamai dengan diri sendiri.”

Kehidupan pribadi

Apabila pendidikan dalam rumah diisi oleh penghinaan dan penilaian-penilaian negatif, tuntutan-tuntutan yang sifatnya satu arah, dan tidak timbal balik, maka agama malah mungkin menghancurkan. Bedakan dengan situasi yang lebih positif ketika orangtua memberi contoh konkret, menyampaikan pujian ketika anak berlaku baik, menegur dalam bahasa positif, tidak berstandar ganda (hanya menuntut pihak lain, tetapi tidak menerapkan aturan bagi diri sendiri).

Dalam kehidupan pribadi dan hubungan interpersonal, situasi sudah sangat kompleks. Manusia memiliki dorongan-dorongan pertumbuhannya sendiri: ingin memiliki citra diri positif, ingin berkembang sesuai dengan fitrah masing-masing yang unik, dan terdorong untuk melindungi diri ketika diperlakukan buruk oleh orang lain.

Di sisi lain, kita juga ingin dinilai positif oleh orang lain, lalu mencoba semaksimal mungkin menyesuaikan diri dengan penilaian dan harapan orang lain. Akibatnya, sering terjadi konflik batin yang kadang menetap dalam jangka panjang secara sangat menyakitkan. Dalam hubungan orangtua-anak, ilustrasi di atas dapat memberi gambaran. Citra diri buruk dan situasi menyakitkan juga dapat terjadi dalam hubungan suami-istri dan dalam hubungan-hubungan interpersonal lain.

Kehidupan sosial

Dalam kehidupan sosial, situasinya jauh lebih kompleks lagi. Apabila kita kuat dikungkung oleh keyakinan dan aturan-aturan normatif mengenai bagaimana menjalankan ritual agama dan berperilaku yang "benar" dan "seharusnya", kita mungkin menghayati "dorongan besar" untuk memastikan bukan hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain untuk patuh pada aturan normatif tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau