Derap langkah orang berlalu lalang, semilir angin dari ujung lorong, dan tempias air hujan sudah menjadi sahabat Wati (37) selama dua bulan ini. Beralas tikar lusuh, Wati tiduran di selasar unit gawat darurat anak RS Cipto Mangunkusumo.
Tak ada ruang rawat inap bagi Wati. Saat ditemui, Selasa (1/3) sore, ia sudah tidak bisa melangkah ke mana-mana karena tumor di lutut bagian dalam sudah sebesar kol. Akhirnya, sepanjang hari ia hanya tiduran di selasar itu, di bawah blower penyejuk udara, ditemani sang suami, Dana (40).
Tidak jauh dari tempat Wati berbaring juga terbaring Oding (54) ditemani beberapa kerabatnya. Sudah sebulan terakhir Oding tidur beralas karpet di ujung selasar tersebut karena tak ada kamar rawat inap baginya. Seperti Wati, Oding juga sudah tidak bisa beranjak ke mana-mana. Tumor di perut dan gangguan di kedua ginjalnya membuat pria itu hanya bisa tergolek. Makan pun ia sudah enggan.
”Katanya ruangan untuk rawat inap penuh. Jadwal operasi pun belum pasti, padahal kaki istri saya harus segera diamputasi karena tumornya semakin besar. Kalau harus bolak-balik dari rumah ke rumah sakit, saya tidak punya biaya,” kata Dana yang berasal dari Desa Cihideung, Kecamatan Cidahu, Kuningan, Jawa Barat. Sehari-hari ia bekerja sebagai buruh tani.
Istrinya adalah pasien Jamkesmas. Ia dirujuk dari Kuningan untuk segera diamputasi. Semua persyaratan untuk mendapatkan kamar sudah dilengkapi.
Tumor di kaki Wati sudah muncul sejak setahun lalu dan memburuk dalam empat bulan terakhir. ”Baunya sudah tidak enak. Sakitnya juga sudah tidak tertahankan. Kalau sudah sakit, saya sampai kejang,” ujarnya.
Oleh pihak rumah sakit, ia sudah diperiksa, diambil sampel tumornya, dan dirontgen. Akan tetapi, sejak datang pada 6 Januari hingga kemarin, belum ada kepastian kapan tumor itu bisa diangkat.
Tidak sanggup
Pilihan untuk tinggal di selasar rumah sakit terpaksa diambilnya karena ia tidak punya sanak saudara di Jakarta. Untuk tinggal di rumah singgah yang menempel di belakang RSCM, ia tidak sanggup karena yang tersedia hanya di lantai dua. Sementara ia harus menggendong istrinya untuk menuju tempat tersebut.
”Di sini banyak debu. Belum lagi kalau hujan, airnya tempias dan lantainya basah. Hari pertama saya datang, istri saya tidur di bangku kantin itu karena tempat tidur dan kursi roda di UGD tidak bisa kami pakai,” kata Dana.