Jakarta, kompas -
Namun, angka ini diperkirakan seperti fenomena gunung es, di mana angka sesungguhnya akan lebih besar. Ini mengingat banyak penderita gizi buruk jarang memeriksakan kesehatannya ke puskesmas terdekat.
Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dien Emmawati mengatakan, Dinas Kesehatan kesulitan mendeteksi kasus gizi buruk lebih awal karena biasanya penderitanya berasal dari keluarga miskin yang bukan penduduk tetap Jakarta. Mereka sering hidup berpindah sehingga jarang memeriksakan perkembangan kesehatan anak balitanya.
Pernyataan Dien ini mengemuka karena ditemukannya empat anak balita penderita gizi buruk yang berasal dari Jalan Kali Sekretaris I RT 015 RW 07, Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Mereka adalah Bintang (10 bulan) dengan berat 6,4 kilogram, Salimatun Hasanah (2 tahun 3 bulan) berat 6,2 kilogram, Tirta (2 tahun 8 bulan) berat 9 kilogram, serta Damar (1 tahun 2 bulan) berat 6,1 kilogram. Seharusnya, untuk bayi berusia 14 bulan, berat idealnya adalah 10,4 kilogram.
Menurut Jubaedah, ibunda Salimatun, gizi buruk yang diderita anaknya disebabkan keterbatasan ekonomi. ”Anak saya ini memang sakit-sakitan. Tetapi, karena suami saya kerja serabutan, saya tidak bisa membawa ke dokter. Makan pun seadanya,” ujar Jubaedah.
Saat ini, keempatnya dirujuk untuk mendapatkan perawatan di Puskesmas Kalideres. Mereka mendapat perawatan dan tambahan gizi secara gratis hingga mendapatkan berat ideal.
Sementara itu, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Johnny Simanjuntak, mengatakan, keengganan masyarakat untuk memeriksakan kesehatannya di puskesmas karena belum bagusnya pelayanan di puskesmas. Banyak warga yang tidak berani berobat karena tidak punya kartu Gakin dan Jamkesmas.
”Warga miskin itu sensitif. Begitu mereka mendapat perlakuan yang tidak baik, mereka langsung mundur dan pasrah dengan keadaannya,” kata Johnny.