Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Munir dan Perjuangan HAM

Kompas.com - 09/06/2011, 02:49 WIB

Usman Hamid

Belum lama ini, Rabu, 27 April pagi, istri pejuang HAM Munir Said Thalib, Suciwati, menceritakan kabar kurang baik seputar perkembangan kasus Munir.

Seseorang yang mengaku bekerja di Mahkamah Agung (MA) meneleponnya dan menjelaskan bahwa terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas vonis 20 tahun penjara yang tengah ia jalani setelah dinyatakan bersalah meracun Munir dalam penerbangan Garuda Indonesia (Jakarta-Amsterdam via Singapura). Ia memperkirakan Polly dapat menghirup udara bebas pada akhir Desember 2011 jika PK dikabulkan.

Saya mengarahkan aktivis Komite Aksi Solidaritas untuk Munir menelusuri informasi itu. Petugas resmi MA menerangkan, itu tak benar. Tetap saja sulit dikesampingkan. Untuk tujuan apa penelepon menghubungi Suciwati? Pollycarpus satu-satunya orang yang tengah menjalani hukuman setelah MA memvonisnya bersalah telah meracun Munir. Jika benar dibebaskan, lalu siapa yang meracun Munir?

Dari sudut pandang hukum, seorang terpidana berhak mengajukan permohonan penghapusan atau keringanan hukuman jika terdapat keadaan baru yang membuktikan dirinya tak bersalah. Inilah upaya hukum luar biasa yang disebut PK itu.

Keyakinan itu ternyata benar. Pada Selasa, 7 Juni, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang atas pengajuan PK Pollycarpus. Pada hari yang sama saya dan Suci berada di Malang meresmikan toko yang ia gagas. Meski menghadiri sidang penting, kami memilih Malang mengingat peluncuran bisnis telah lama direncanakan.

Lalu, bagaimana jika perkiraan penelepon itu benar? Inikah akhir pengusutan pembunuhan Munir? Yang jelas, ini kemunduran hukum menyusul kemunduran sebelumnya ketika PN Jakarta Pusat membebaskan mantan Deputi V Badan Intelijen Negara Muchdi Purwopranjono yang sempat meringkuk enam bulan dalam Tahanan Brimob, Kelapa Dua.

Setelah itu, nyaris tak ada kemajuan. Upaya menemui Jaksa Agung, Kapolri, dan Presiden menemui kebuntuan. Hampir semua pelaku politik dominan hari ini sibuk membentengi diri dari jeratan hukum atas skandal korupsi perbankan, pajak, hingga penggelapan suara.

Tak kunjung tuntas

Kepolitikan kita gegap gempita menggelar pemilihan langsung wakil rakyat dan eksekutif di semua wilayah hingga muram menghasilkan janji elektoral konstitusional saat kampanye: supremasi hukum, rasa aman, dan perbaikan kesejahteraan rakyat. Rasa aman dibelokkan dalam logika hukum mayoritas-minoritas. Hak yang lemah, miskin, atau minoritas dipersulit. Janji menegakkan supremasi hukum dikalahkan oleh janji terselubung membagi kursi kekuasaan.

Dari sudut pandang politik, pembunuhan Munir hanya satu di antara sejumlah masalah hukum yang tak kunjung tuntas ditangani pemerintahan yang saat ini berkuasa. Setumpuk masalah lain berupa pelanggaran HAM berat yang pernah diselidiki Komnas HAM tak berujung pangkal. Perkara korupsi subur dan disuburkan kompromi elite penguasa. Yang pasti, kasus Munir ukuran paling sederhana apakah penguasa hari ini tulus bekerja dan berani menegakkan hukum. Di mata dunia, kasus ini simbol ketakadilan struktural. Penuntasannya jadi penentu banyak hal, sejak perlindungan pekerja HAM, reformasi peradilan, hingga reformasi intelijen.

Lebih jauh lagi, kontroversi RUU Intelijen Negara, RUU Keamanan Nasional, dan revisi UU Antiterorisme yang terbaru perlu diuji dengan kasus Munir. Sejauh mana wewenang badan intelijen atau kepolisian menangkap dan memeriksa seseorang tanpa bukti dan didampingi pengacara dapat dijamin tak disalahgunakan.

Perjuangan HAM kini memasuki fase paling dipertaruhkan. Selain kabar Suciwati, tersua pemindahan diam-diam makam Letnan Kolonel Heru Atmodjo dari Taman Makam Nasional Kalibata atas tekanan kelompok tertentu karena dicurigai terllibat G30S. Mengapa putusan memindahkan makam itu diam-diam? Bagaimana statusnya sebagai pemegang Bintang Gerilya Revolusi Kemerdekaan RI?

Gundah ini bertambah jika kita cermati arah kebijakan lima tahunan HAM di tingkat makro. Presiden Yudhoyono terlambat mengesahkan Rancangan Aksi Nasional (RAN) HAM 2010-2014 menjadi RAN HAM 2011-2014. RAN HAM III ini tak lagi mengagendakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.

Padahal, RAN HAM I 1998-2003 yang disahkan Presiden Habibie dan RAN HAM II 2004-2009 yang disahkan Presiden Megawati merumuskan target yang jelas melalui penyelenggaraan Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran sampai rehabilitasi umum eks tahanan politik serta pelurusan sejarah yang dicanangkan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menarik kembali RUU Komisi Kebenaran yang diperlukan bagi pelurusan sejarah.

RAN HAM tak memuat agenda melaksanakan Kesepakatan Helsinki dan UU Pemerintahan Aceh yang mewajibkan pembentukan Pengadilan HAM, Komisi Kebenaran Aceh, serta Komisi Bersama Penyelesaian Klaim RI-GAM. Padahal, Ketua MA telah menyetujui pembentukan Pengadilan HAM. Tinggal menunggu keputusan presiden.

Dalam kasus Timtim, SBY kerap membanggakan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang dibentuk bersama Pemerintah Timor Leste. Setelah mengakui kejahatan kemanusiaan di Timtim, rekomendasi KKP tentang pembentukan Komisi untuk Orang Hilang juga tak dilaksanakan. Lebih jauh lagi, SBY memanfaatkan sikap pasif PBB serta Pemerintah Timor Leste menghindari penuntutan penjahat perang dan kejahatan kemanusiaan di Timtim (1999).

Menemukan semua pelaku

SBY sempat memberi harapan perbaikan kondisi Papua dengan membentuk Majelis Rakyat Papua. Namun, kondisi HAM di Papua terus merosot. Usaha dialog tak digubris. Dalam setahun terakhir kekerasan terus terjadi di Timika, Puncak Jaya, termasuk penyiksaan Pendeta Kinderman Gire dan Pitinus Kogoya, Telenggan Gire, dan Anggunpugu Kiwo, hingga perlakuan tak manusiawi terhadap warga sipil bernama Wonda dan Tabuni yang dituduh separatis.

Tak kunjung ada keadilan untuk pelanggaran HAM berat sebelumnya di Papua, antara lain pembunuhan Theys Elluay dan Aristoteles Masoka (2001) serta Opinus Tabuni (2008). Papua hanya salah satu wilayah berlimpah SDA yang tak diurus baik oleh negara. Reformasi memasuki tahun ke-13. Kian hari kekuasaan pemerintah kian didominasi elite koalisi partai dominan yang mengejar untung sendiri daripada perwakilan, konstituen pemilih, ideologi partai, apalagi keutamaan hajat hidup rakyat. Mereka sibuk mengatur kehidupan bersama dari jalan ekonomi pasar dan doktrin sempit agama.

Masa depan perjuangan HAM kita dipertaruhkan. Untuk seluruh keadaan, perjuangan HAM harus bisa menjawab gejala apa yang kini sebenarnya terjadi dan bagaimana memecahkannya. Un- tuk kasus Munir, jelas negara bertanggung jawab menemukan semua pelaku dan siapa sesungguhnya dalang. Apakah perlu mengganti presiden seperti dikatakan Suciwati?

USMAN HAMID Aktivis Kontras

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com