Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berbuka di Tengah Kerasnya Jakarta

Kompas.com - 07/08/2011, 01:37 WIB

 Sarie Febriane & Budi Suwarna

Di tengah kondisi Jakarta yang supermacet, di manakah rakyat berbuka puasa? Mereka ada yang berbuka sekenanya di dalam kendaraan, di tepi jalan, dan di masjid-masjid. Itulah potret Ramadhan kaum urban yang tetap khusyuk berpuasa di tengah kehidupan keras kota.

Dalam sepekan pertama Ramadhan berjalan, keadaan lalu lintas di Jakarta menjelang maghrib terasa lebih ”mendebarkan”. Setiap pengendara di jalan seolah berburu untuk sampai ke rumah. Ketika azan berkumandang, gaungnya bersahutan dengan hiruk-pikuk suara klakson kendaraan. Lalu, berbuka puasa pun terpaksa dilakukan di tengah jalan.

Mari, kita simak perjuangan beberapa komuter pada bulan Ramadhan ini. Sejak lima tahun terakhir ini, Sunardi Wibawa (38) hampir selalu menghabiskan waktu berbuka puasa di pinggir jalan.

”Mau bagaimana lagi, jam segini belum sampai rumah,” katanya, saat tengah singgah berbuka puasa di tepi jalan di kawasan Karet Bivak, Jakarta, Jumat (5/8) petang.

Jarak tempuh antara tempat kerjanya di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, dan rumahnya di Karangsatria, Bekasi Utara, sekitar 65 kilometer. Dengan sepeda motor, saban hari Sunardi menghabiskan sekitar 3 jam di jalan untuk menembus kemacetan. Jika lalu lintas macet parah, Sunardi akan singgah di kawasan Palmerah untuk berbuka, lalu singgah di masjid terdekat untuk shalat maghrib. Sementara jika lalu lintas ”normal”, dia akan berbuka di kawasan Karet Bivak atau Casablanca, salah satu kantong kemacetan di Ibu Kota.

Sunardi akan bergabung dengan ratusan pengendara motor lain yang saban menjelang maghrib berjejer di tepi jalan di sekitar pedagang minuman atau takjil. Ketika azan berkumandang masih di tepi jalan, para pengendara motor itu hampir serentak segera menyantap takjil seperti kolak atau sekadar membasahi kerongkongan dengan teh dalam kemasan. Kemudian, baru melanjutkan kembali perjuangan menuju rumah.

Meski begitu, Sunardi tak mengeluh. Baginya, berpuasa harus tetap dinikmati, dihayati. Soal hampir saban hari harus berbuka puasa di tengah jalan, bahkan di tepi jalan sambil menyantap kolak di atas jok sepeda motor pun dianggapnya sebagai tantangan hidup.

Ke masjid

Lain lagi cerita Suyati (42), pegawai di salah satu kantor kementerian di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Sejak puasa hari pertama, setiap pulang kerja, Suyati selalu mampir ke sekitar Masjid Al-Azhar yang tak jauh dari kantornya. Di sana, seusai waktu shalat ashar, para pedagang makanan sudah bersiap-siap di lapak. Dari para pedagang itu, Suyati membeli beberapa bungkus takjil, seperti es kelapa, es blewah, ataupun kolak.

”Buat siap-siap buka puasa di jalan kalau macetnya parah karena enggak kekejar sampai rumah tepat maghrib,” kata Suyati sembari membeli es kelapa di pedagang takjil di depan Masjid Al-Azhar.

Suyati, yang tinggal di Ciputat, mengaku, meskipun jam pulang kantor selama puasa dipercepat menjadi pukul 16.00, waktu tempuh menuju rumah tidak otomatis menjadi lebih cepat. Sepekan ini, Suyati harus menghabiskan waktu dua jam lebih untuk tiba di rumah. Padahal, dalam kondisi normal, jarak itu bisa ditempuh dalam 15-30 menit. Ibu dua anak dan tak memiliki pembantu rumah tangga ini akhirnya terpaksa membeli takjil ala kadarnya di jalanan untuk santapan berbuka keluarganya.

”Tapi kalau macetnya lagi gila, dan maghrib belum sampai rumah, saya telepon anak-anak di rumah supaya mereka buka pakai apa aja dulu, minum atau apa saja. Baru lanjut makan takjil yang saya beli setelah saya sampai,” tutur Suyati, sembari terburu-buru membayar takjil bungkusannya.

Berkah

Di tengah kemacetan kota, para pencari rezeki tak pantang menyerah. Para pedagang makanan bersiasat begitu rupa untuk menambah penghasilan selama Ramadhan. Lokasi-lokasi strategis dijadikan lapak, seperti tepi jalan utama yang padat dilalui kendaraan, juga kawasan sekitar masjid, ataupun areal parkir masjid.

”Dulu, setiap bulan puasa, saya berhenti jualan karena saya pikir siapa yang mau jajan? Baru sepuluh tahun lalu saya tetap jualan di bulan puasa. Keadaan berubah, banyak orang sekarang makin sering buka puasanya di jalan karena makin macet,” tutur Minanti Atmadja (55), penjual selendang mayang, takjil khas Betawi, selama 30 tahun.

Minanti yang mangkal di Jalan Panjang, Jakarta Barat, bercerita, bulan puasa menentukan perubahan caranya berdagang. Biasanya, dia akan berjualan sejak pukul 08.00 hingga pukul 17.00 dan baru menyiapkan racikan selendang mayang bikinannya setiap kali ada yang membeli. Namun di bulan puasa, Minanti baru mulai mangkal berjualan pukul 15.00. Sementara, selendang mayang sudah dikemas dalam bungkusan-bungkusan plastik dengan sendok plastik.

”Karena orang yang beli pasti buat bekal buka puasa di jalan. Bawaannya pasti buru-buru. Kalau sudah dikemas begini, bisa cepat tinggal comot, bayar, pergi,” kata Minanti.

Dengan berjualan hanya sekitar tiga jam, perolehan pendapatannya selama bulan puasa juga melesat dua kali lipat. Bapak beranak sembilan ini selama sepekan Ramadhan, saban hari sanggup menjual sekitar 170 bungkus selendang mayang seharga Rp 3.000 per bungkus.

Ramadhan juga menjadi berkah tersendiri bagi penjual takjil di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Uni May, misalnya, setiap bulan puasa, pekerjanya yang saban hari hanya 1-2 orang harus ditambah hingga 14 orang. Omzet berjualannya selama Ramadhan bisa mencapai Rp 8 juta hingga Rp 10 juta per hari. Uni May, yang 15 tahun terakhir ini berjualan di Benhil setiap kali Ramadhan, pada hari-hari biasa berjualan di kantor bank swasta di kawasan Sudirman dengan omzet harian hanya Rp 1 juta.

”Jemaah transit”

Areal masjid juga menjadi lapak yang strategis. Nana (23), lulusan Universitas Hidayatullah, berjualan takjil khas Betawi di areal Masjid Raya Pondok Indah, Jakarta Selatan. Alasannya, Jakarta macet. ”Orang akan mampir ke masjid untuk buka puasa sekalian shalat maghrib,” kata Nana.

Selain itu, banyak masjid di Jakarta menyediakan takjil cuma-cuma dengan biaya yang diambil dari kas masjid hasil sumbangan rutin jemaah. ”Jadi, takjil cuma-cuma itu sebenarnya dari jemaah dan untuk jemaah juga,” kata Ahmad Muslim S, pengurus Masjid Da’arul Azkhar, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Dari tahun ke tahun, setiap Ramadhan kecenderungan jemaah yang singgah di masjid Da’arul Azkhar saban maghrib kian banyak. Lokasi masjid, yang berada di Jalan Karang Tengah Raya, juga menjadi pelintasan warga Cinere Depok, Sawangan, hingga warga Parung Bogor.

”Jemaah kami bisa dibilang jemaah transit. Mereka yang terpaksa buka di tengah jalan karena di jalan makin macet. Jadilah harus mampir di masjid untuk berbuka dan shalat maghrib,” ujar Muslim.

Aneka macam takjil, seperti es buah, kolak, teh manis, kue empat macam dihidangkan di Masjid Da’arul Azhar. Sebagian

besar dimasak sendiri oleh pengurus masjid. Salah seorang pemasaknya adalah Emi (40), warga komuter asal Cimanggis, Depok, yang rela sejak pukul 03.00 memasak aneka takjil untuk jemaah transit. Ya, dari rakyat untuk rakyat, Ramadhan untuk semua. (NUR HIDAYATI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com