Jakarta, Kompas -
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (IPD FK UI) Sarwono Waspadji, Rabu (2/11), mengatakan, amputasi tak perlu jika luka di kaki tak parah. Apabila kondisi baik, cukup antibiotika. ”Masalahnya, pasien biasa ke rumah sakit saat luka sudah parah,” ujarnya, kemarin.
Studi populasi di Koja, Jakarta Utara, pada tahun 1981 menunjukkan, penyandang kaki diabetes 1,7 persen. Pada 2004-2005 di seluruh Jakarta, penyandang kaki diabetes lebih dari 12 persen.
Sarwono yang juga konsultan endokrin metabolik dan diabetes (KEMD) mengatakan, penyandang kaki diabetes yang pernah diamputasi memiliki risiko tinggi untuk diamputasi kembali.
Amputasi mengubah bentuk kaki. Tanpa alas kaki khusus, bagian tertentu kaki mengalami tekanan besar sehingga mudah luka. ”Mereka yang berisiko tinggi harus merawat kaki sama seperti merawat wajah,” tuturnya.
Dosen IPD FK UI yang juga konsultan, EM Yunir, menambahkan, selain pernah diamputasi, faktor risiko kaki diabetes lain adalah menderita diabetes lebih dari 10 tahun, gangguan penglihatan dan neuropati (sistem saraf tepi), hingga komplikasi penyakit lain, seperti gagal ginjal dan jantung.
Saat kulit kaki kering, jari bengkok, telapak kaki datar, ada benjolan bagian tertentu di kaki, atau kuku kaki kusam dan menebal, maka penyandang kaki diabetes harus waspada. Luka sekecil apa pun bisa jadi sumber infeksi yang memicu amputasi.
”85 persen amputasi kaki diabetes didahului ulkus (luka terbuka). Artinya, amputasi sebenarnya bisa dicegah,” katanya.
Untuk itu, penyandang kaki diabetes harus selalu menggunakan alas kaki sesuai bentuk kaki, kecuali saat tidur. Sepatu hendaknya dibeli sore hari saat ukuran kaki membesar. Dan, jaga kaki tetap kering untuk mencegah kuman.