Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Resistensi Obat Jadi Tantangan Riset Anti Malaria

Kompas.com - 09/11/2011, 12:33 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Masalah utama dalam mengatasi penyakit malaria saat ini bukan hanya pada skala atau jumlah penderitanya. Masalah yang mengemukan saat ini adalah karakteristik parasit Plasmodium (penyebab malaria) yang cepat bermutasi sehingga menimbulkan resistensi.

"Masalah utama saat ini adalah malaria di Indonesia ini sudah resisten. Obat sudah tidak mempan. Obat paling mempan saat ini adalah antimycin, tapi itu pun sekarang di Kamboja sudah ada tanda-tanda resisten," kata Prof Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Eijkman. Dalam konferensi pers Eijkman 5th Conference yang diselenggarakan hari Selasa (8/11/2011) bertepatan dengan 16 tahun pembukaan kembali Eijkman.

Sangkot mengatakan, parasit malaria adalah parasit yang cerdik dan cepat sekali bermutasi. Herawati Sudoyo, Chairman Eijkman 5th Conference, menjelaskan, "Mutasi-mutasi yang kita dapatkan berdasarkan hasil penelitian ternyata cepat sekali menyebabkan drugs resisten. Parasitnya mengadakan perubahan di reseptor yang menerima obat-obat tersebut."

Biasanya, kata Herawati, produksi obat malaria harus dilakukan berpacu dengan waktu untuk bisa cepat mengerti masalah. Obat malaria cepat sekali dibuat tanpa tahu bagaimana mekanisme obat tersebut menyembuhkan penyakit.

Dengan kasus drugs resisten, lembaga Eijkman kembali mempelajari mekanisme obat menyerang parasit atau menyembuhkan penyakit. Salah satu yang tengah dipelajari saat ini adalah kaitan mitokondria (organ sel dalam parasit) dengan kasus malaria dan obatnya.

Prof Amin Soebandrio dari Kementerian Riset dan Teknologi mengatakan, pengupayaan obat malaria menjadi salah satu fokus penelitian saat ini. Malaria menjadi penyakit tropis yang ditemui dari Sabang sampai Merauke dan menyebabkan banyak kematian.

Menurut Amin, Indonesia seharusnya bisa memproduksi obat malaria sendiri. Peralatan di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, menurut dia, telah memadai. Permasalahannya adalah pada marketing dan bagaimana bersaing dengan produk luar.

Sangkot mengatakan, Indonesia pernah memproduksi obat anti malaria sendiri dari kina. Namun, kesulitan kini dihadapi karena kina sendiri sudah sulit didapatkan, di samping karena parasit malaria sudah resisten dengan kina.

Herawati mengatakan, salah satu prospek pengupayaan obat antimalaria berasal dari kearifan lokal. Salah satu contoh, menurut Herawati, adalah penggunaan daun pepaya oleh masyarakat Indonesia bagian timur ketika menderita malaria, digabung dengan perawatan medis.

"Banyak sekali bahan yang dikembangkan secara tradisional dan unik. Tapi saat ini banyak sekali yang go nature namun belum tahu isinya. Yang kita ingin ketahui sekarang adalah apa yang dikandung bahan-bahan itu," kata Herawati.

Kemampuan mandiri obat malaria bisa tercapai jika beragam material yang berpotensi tersebut di-screening dan diuji secara klinis. Indonesia sendiri dengan keanekaragaman hayati, kata Herawati, memiliki banyak alternatif bahan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com