Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Minum Cokelat, Mandi pun Pakai Cokelat

Kompas.com - 13/02/2012, 16:14 WIB

”Sekarang selera orang senang dark chocolate yang agak pahit,” ungkap Agusta Grahadi, Manajer Operasional Cokelat Cafeshop di Yogyakarta. Kedai cokelat ini juga populer di kalangan remaja Yogya yang menggemari minuman hot chocolate.

Selain kedai cokelat, cokelat praline yang masih dianggap mewah juga kian akrab di lidah awam. Penganan ini merupakan kudapan cokelat sekali suap dengan aneka isian. Kini, skala rumah tangga pun mampu membuat praline nan apik dengan harga terjangkau. Tak heran, di kota, seperti Magelang, Jawa Tengah, pun dapat dijumpai gerai khusus praline. Bahkan, praline kini juga menjelma sebagai suvenir dalam resepsi pernikahan.

Jika dahulu belajar membuat praline harus ke Belgia, misalnya, kini kursus praline juga menjamur di dalam negeri. Salah satu tempat untuk ”mencuri” keterampilan membuat praline adalah Chocolate School by Tulip di Jakarta. Sekolah ini dibuka oleh PT Freyabadi, produsen cokelat untuk skala industri.

Christina Mumpuni Erawati, Kepala Chocolate School by Tulip, menjelaskan, minat orang Indonesia pada cokelat memang meningkat dengan variasi produk cokelat juga kian beragam. Belakangan, konsumsi cokelat di Indonesia cenderung meningkat 15-20 persen per tahun.

Yumi (21), mahasiswi, termasuk salah satu peserta sekolah cokelat ini. Dia dan ibunya, Mira Suprayatmi (46), berencana membuka gerai praline. Keinginan dan hasrat mereka pada cokelat bermula dari pengalaman Mira tinggal di Belgia selama empat tahun terakhir.

”Cokelat Belgia terkenal banget, padahal di sana enggak ada kebun cokelat. Sebagian cokelatnya dari Indonesia juga. Ibu saya belajar cokelat di sana, saya kursus di sini saja,” ujar Yumi.

Indah (40), karyawati bank di Jakarta, juga ikut kelas dasar di Tulip karena tertarik berbisnis cokelat. ”Setelah kursus, saya mulai terima pesanan kue disiram cokelat dan praline pada momen-momen khusus,” ujar Indah yang juga berencana segera membuka gerai kue dan cokelat ini.

Melalui kursus membuat praline ini, peserta belajar lebih jauh mengenai cokelat. ”Semakin masyarakatnya memahami cokelat, akan makin maju pula industri cokelat. Belum banyak orang yang paham mana yang bisa disebut cokelat, dan belum ada standardisasi produk cokelat,” ujar Christina.

Christina mencontohkan, banyak produk disebut cokelat, padahal tak mengandung lemak cokelat (cocoa butter). Sebagai gantinya, yang digunakan justru komodifikasi lemak dari kelapa sawit.

”Jadi, tidak asal semua yang berwarna cokelat dan berasa mirip cokelat bisa disebut cokelat. Compound cokelat, misalnya, tidak mengandung lemak cokelat. Cokelat riil harus mengandung lemak cokelat,” ungkap Christine.

Nah, pada saat kalangan birokrat kini sedang kebingungan dengan persoalan ekspor biji kakao, geliat rakyat bermain cokelat di sektor hilir ini sudah memberi bukti nyata....

(Mawar Kusuma/Nur Hidayati)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com