Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tatalaksana TB Tak Sesuai Standar Picu Resistensi

Kompas.com - 28/02/2012, 10:05 WIB

JAKARTA,KOMPAS.com - Tatalaksana pengobatan Tuberkulosis (TB) yang tidak sesuai standar dan masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang TB diduga menjadi penyebab utama meningkatnya kasus TB MDR (multi drug resistant) baru.

Demikian disampaikan  Kepala Sub Direktorat Pengendalian Tuberkulosis Kementerian Kesehatan Dyah Erti Mustikawati dalam media workshop di Jakarta, Senin, (27/2/2012).

"Banyak kasus TB yang belum dilakukan dengan tatalaksana yang benar. Selama ini, pasien mempunyai persepsi kalau bayar pengobatan semakin mahal maka bisa sembuh, tapi untuk TB itu tidak berlaku," katanya.

Dyah mengatakan bahwa layanan TB cukup kompleks dan membutuhkan keahlian serta keterampilan khusus. Layanan TB yang tidak standar tidak akan menyembuhkan pasien tetapi kemungkinan memicu terjadinya TB MDR.

TB MDR adalah kondisi dimana pasien resistan terhadap obat anti tuberkulosis yang paling poten yakni INH dan Rifampicin secara bersama-sama atau disertai resisten terhadap obat anti TB lini pertama (ethambutol, streptomycin, dan pirazinamide).

"Setiap pasien yang telah didiagnosis TB MDR harus diobati dengan tuntas di sarana pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan pengobatan TB MDR secara standar," katanya.

Dyah mengungkapkan bahwa saat ini banyak rumah sakit, klinik swasta dan dokter yang melakukan pengobatan terhadap pasien yang diduga TB MDR dengan menggunakan rejimen yang tidak standar dengan menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama dan lini kedua yang dijual bebas di pasaran.

Dyah menambahkan,  TB MDR ataupun TB XDR (extensively drug resistant) dapat menyebabkan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Oleh karena itu harus dicegah dengan cara melaksanakan tatalaksana pasien TB yang berkualitas dengan startegi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse).

"Angka insidensi TB MDR di Indonesia sekitar 2 persen atau 6.100 kasus per tahun," ucapnya.

Ulah Manusia

Sementara itu, dr. Arifin Nawas, Sp P(K), spesialis paru dari RSUP Persahabatan mengutarakan bahwa TB MDR adalah masalah ulah manusia. Masalah ini dapat memakan banyak biaya, jiwa, daya dan merupakan ancaman utama terhadap strategi penanggulangan TB yang saat ini sedang berjalan.

"Manusia di sini maksudnya adalah pasien dan dokter," katanya di acara yang sama.

Arifin mengatakan, pengobatan TB dengan tatalaksana yang tidak standar (misal rejimen, lama dan cara pemberian pengobatan yang tidak benar) dapat menjadi pencetus untuk meningkatnya jumlah kasus TB MDR. Selain itu, ketidakpatuhan pasien untuk minum obat secara teratur juga berakibat pada gagalnya pengobatan dan kuman menjadi kebal yang disebut MDR.

"Pada pasien TB MDR, butuh waktu sekitar 18 sampai 24 bulan untuk bisa sembuh, jauh lebih lama ketimbang pasien TB biasa," katanya.

Ia menambahkan bahwa rejimen pengobatan pada pasien TB MDR juga berisiko menimbulkan efek samping yang lebih berat, seperti muntah, mual, sakit kepala, insomnia, nyeri sendi, gangguan pendengaran sampai terganggunya siklus menstruasi.

"Sangat berbeda antara TB yang biasa dan TB MDR. TB biasa bisa diobati dengan obat-obatan yang biasa atau lini pertama, tapi TB MDR tidak," cetusnya.

Arifin mengutarakan, untuk memastikan pasien mengonsumsi obat secara teratur sangat diperlukan peran serta dari pengawas minum obat (PMO) - sebagai salah satu komponen DOTS. PMO kini tidak lagi melibatkan keluarga, melainkan langsung ditangani oleh tenaga kesehatan atau kader yang dikenal dan disegani oleh pasien.

"PMO bertugas untuk mengawasi dan memberikan dorongan kepada pasien, serta mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak secara teratur. Kalau PMO-nya anggota keluarga sendiri pengawasan obat seringkali kurang efektif," jelasnya.

Data menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke 9 dari 27 negara dengan beban TB MDR terbanyak di dunia. WHO Global Report 2011 memperkirakan pasien TB MDR di Indonesia berjumlah 6.100 orang. TB adalah pembunuh nomor satu di antara penyakit menular dan merupakan peringkat ke tiga dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com