Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kekerasan Menjangkiti Anak-anak

Kompas.com - 29/02/2012, 03:26 WIB

Jakarta, Kompas - Kekerasan oleh dan terhadap anak- anak terus meningkat, baik dari kuantitas maupun kualitas. Lingkungan tidak sehat secara sosial dan ekonomi membuat anak rentan. Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun bisa menjadi pelaku kekerasan.

  Di Jakarta, karena jengkel, seorang kakak membekap adiknya hingga meninggal. Di Depok, Jawa Barat, siswa sekolah dasar menikam temannya, sedangkan di Makassar, anak sekolah menengah pertama menyilet wajah temannya setelah saling ejek. Belum lagi kasus tawuran dan aksi brutal geng motor remaja.

Perilaku anak seperti tak mau kalah dari orang dewasa. Aneka rupa kekerasan mengitari dunia anak. ”Anak dan remaja adalah masa meniru. Persoalannya, kematangan mental mereka belum mampu mencerna yang baik dan buruk,” kata Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, yang juga Ketua Program Studi Doktoral Fakultas Psikologi UI, Hamdi Muluk di Jakarta, Selasa (28/2).

Fase meniru itu makin kritis ketika di lingkungan anak tak ada figur kuat untuk menerapkan nilai moral, sebaliknya menonjolkan kekerasan, baik langsung maupun tak langsung, lewat tayangan televisi/video game.

”Tayangan kekerasan di televisi dan kebiasaan main game dari berbagai penelitian psikologi berpengaruh buruk pada anak usia 4-5 tahun hingga remaja. Mereka cenderung agresif dalam pikiran, emosi, dan perilaku,” kata Hamdi.

Hidup di tengah kondisi keras dan agresif sejak kecil menumbuhkan penilaian anak bahwa kekerasan adalah solusi. Itu turut menjelaskan penikaman Amn terhadap Syaiful (12). Amn yang tinggal dengan kakaknya kerap dipukul bila dinilai lalai menjaga keponakannya.

”Saya pernah punya pasien anak tujuh tahun yang gemar menganiaya binatang. Ternyata akarnya, ayahnya meninggalkan ibunya yang sering dikerasi ayahnya. Ketika saya minta menggambar, ia sering menggambar pistol. Cita-citanya menjadi polisi atau tentara agar bisa menembak ayahnya,” kata psikiater dari RSUD Dr Sutomo dan Universitas Airlangga, dr Nalini M Agung.

Indikator masyarakat

Menurut Nalini, meningkatnya kekerasan anak dan dewasa indikator buruknya kesehatan mental publik. Penyebabnya kompleks: faktor genetis dan psikologi dipengaruhi ekonomi, sosial, politik, dan budaya. ”Semua dimensi, krisis,” ujarnya.

Publik, termasuk anak-anak, didera krisis segala dimensi. Banyak tekanan dan kecemasan karena ketidakpastian. Di satu sisi, kemiskinan dan kebodohan menjadi momok. Di sisi lain, sistem pendidikan yang menekankan aspek kognitif kian menekan kebebasan anak. Mereka kehilangan waktu bermain dan berekspresi.

Di kota-kota besar kian jarang gelanggang remaja untuk menyalurkan kegembiraan anak. Ruang-ruang itu diganti mal, kafe, dan gadget yang mengasingkan anak dari realitas.

Di kawasan Jakarta Utara, misalnya, makin banyak anak hidup di jalanan. Pencurian barang dari truk trailer biasa. Bahkan, anak- anak belasan tahun itu tawuran memperebutkan lahan putaran jalan. ”Mereka biasa jadi ’polisi ogah’,” kata Kepala Bagian Operasi Polres Jakarta Utara Ajun Komisaris Besar Hapsoro.

Duduk semeja

Menurut Nalini, kondisi seperti ini harus diatasi. Bila tidak, krisis akan menjadi-jadi dan sulit dicarikan jalan keluar.

Orangtua, pelaku pendidikan, dan pengambil kebijakan punya tanggung jawab bersama menyelamatkan masa depan anak. Orangtua saatnya mendengarkan keresahan anak.

Pelaku pendidikan harus mewadahi ekspresi siswa. Jangan hanya berorientasi kognitif. ”Remaja itu agresinya tinggi, butuh penyaluran,” katanya.

Bagi pemerintah, program pembangunan harus ditujukan bagi masa depan anak, misalnya menyediakan gelanggang remaja yang aman dan dapat diakses semua kalangan.

Di sisi hukum, di tengah penegakan hukum bagi anak pelaku kejahatan, dinilai perlu menangani anak dengan tepat. ”Penanganan pelanggar hukum beda dengan cara menangani orang dewasa,” kata Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait.

Dalam bahasa Nalini, rehabilitasi adalah tujuan utamanya, bukan hukuman fisik.(NEL/ARA/FRO/MDN/GSA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com