Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerusakan Hutan Terabaikan

Kompas.com - 20/04/2012, 01:44 WIB

Jambi, Kompas - Perusakan dan penghancuran taman nasional dan hutan lindung telah berlangsung lama serta terus meningkat setiap tahun, tetapi jarang ditindak. Penertiban berlangsung sesaat dan tanpa sanksi tegas. Bahkan, pemerintah pusat dan daerah seperti saling lempar tanggung jawab dalam mengatasi persoalan itu.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Jakarta, Kamis (19/4), menegaskan, kawasan taman nasional tetap dilarang dirambah. Karena itu, Kementerian Kehutanan akan terus menjalankan berbagai prosedur guna menertibkan perambahan kawasan taman nasional yang dilindungi itu. ”Tidak ada yang boleh merambah kawasan taman nasional. Itu final. Kami mencari solusi terbaik agar kesejahteraan rakyat dan kelestarian lingkungan terjaga. Namun, para cukong yang memodali perambahan hutan akan saya sikat,” ujar Menhut.

Di Indonesia ada 43 taman nasional darat dengan luas kawasan 12,3 juta hektar. Namun, 30 persen di antaranya dalam kondisi rusak parah akibat perambahan. Di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), misalnya, kini beroperasi 40 perusahaan pertambangan dan 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kemenhut Darori menambahkan, penertiban pidana kehutanan di TN Gunung Leuser, TN Kerinci Seblat, dan TN Bukit Barisan Selatan terus berjalan. Namun, prinsip operasinya tak menghukum perambah yang diperalat pemodal. Langkah lain, pemerintah juga merelokasi 50 keluarga perambah hutan di Sumatera Utara ke Sumatera Selatan dalam program transmigrasi.

”Kami sudah menggelar operasi terpadu untuk menurunkan perambah dari TN Bukit Barisan Selatan dan TN Gunung Leuser. Di TN Kerinci Seblat juga mulai ditertibkan. Perambah diperingatkan keluar dari hutan. Tetapi kalau sudah berskala masif, tetap dipidana,” ujar Darori.

Soal dana dan kewalahan

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Hasviah menyayangkan tuntutan pemerintah pusat kepada daerah untuk menjaga taman nasional begitu besar, tetapi tak sebanding dengan alokasi dana bagi dinas kehutanan di daerah.

Pihaknya mengaku kewalahan menjaga kawasan hutan produksi dan konservasi di Jambi seluas 2,1 juta hektar (ha) dengan hanya berbekal dana APBD tingkat I sebesar Rp 350 juta dan dukungan sekitar 100 polisi hutan yang memasuki usia pensiun.

”Menjaga hutan produksi yang penuh konflik dengan perambah saja kami sudah kewalahan, masih ditambah lagi beban menjaga taman nasional. Tuntutan ini tak sebanding dengan yang pusat berikan kepada kami,” ujarnya.

Hasviah menambahkan, dana pusat bagi lembaga bentukan pusat, yakni Balai Taman Nasional, sekitar Rp 5 miliar per tahun. ”Namun, dana untuk menjaga taman nasional melalui dinas kehutanan tak ada,” katanya.

Senada dengan Hasviah, Gubernur Jambi Hasan Basri Agus mengatakan akan meminta pemerintah pusat membantu penanganan perambahan hutan. Selain aktivitas perambahan lama belum terselesaikan, perambahan baru juga terjadi di sejumlah lokasi. ”Kami kewalahan. Makin banyak perambah yang masuk ke kawasan hutan lindung dan taman nasional,” katanya.

Bahkan, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau Zulkifli Yusuf berpendapat, pihaknya tak berperan dalam mengawasi taman nasional karena Kemenhut telah membentuk unit pelaksana teknis di Riau, yakni Balai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) yang berfungsi mengawasi hutan konservasi.

”Kawasan konservasi sepenuhnya wewenang pusat. Sesuai aturan, tugas kami hanya menjaga hutan produksi yang berada minimal di dua kabupaten/kota yang belum diserahkan pengelolaannya kepada perusahaan,” ujarnya. Kerusakan di TNTN sekitar 28.500 hektar.

Di KEL, Aceh, kerusakan terparah dipicu alih fungsi hutan menjadi perkebunan, pertambangan, pembalakan liar, dan pembangunan jalan. Saat ini, selain 40 perusahaan pertambangan, ada pula 16 perusahaan perkebunan beroperasi dalam KEL.

”Semestinya kawasan KEL tak diperuntukkan bagi permukiman dan infrastruktur, apalagi perkebunan dan pertambangan. Ini sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 yang menetapkan KEL sebagai kawasan strategis nasional,” kata Kepala Bidang Pemanfaatan Lingkungan KEL Teddy Azima. KEL seluas 2,7 juta ha meliputi 2,2 juta ha di Aceh dan 500.000 ha di Sumut.

Tumpang tindih

Tingginya tingkat perambahan di kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Lampung, tidak lepas dari tumpang tindihnya aturan soal tapal batas wilayah. Karena itu, Polres Tanggamus sedang menelusuri indikasi terjadinya pungutan liar terhadap perambah di wilayah Pematangsawa.

Di Pematangsawa, sebagian perambah menguasai tanah yang masuk kawasan TNBBS dengan membeli dari oknum pejabat desa (kepala pekon) setempat. ”Ada yang beli Rp 2 juta-Rp 3 juta per ha. Mereka diimingi sertifikat. Kami telah menangkap salah seorang dari mereka yang ternyata suami kepala pekon di Tiron,” ujar Kepala Polres Tanggamus Ajun Komisaris Besar Bayu Aji.

Ada pula pungutan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap obyek tanah yang dikuasai perambah, seperti di Rata Agung dan Lemong, Kabupaten Lampung Barat. ”Kami mensinyalir pajak ini muncul akibat ketidakpahaman dan kurangnya koordinasi aparat desa,” ujar Kepala Bidang Wilayah I TNBBS Iwen Yuvanho.

Terkait penertiban, Kepala Balai Besar TN Gunung Leuser Andi Basrul mengatakan akan menempuh langkah represif untuk mengusir perambah. Ia akan meminta bantuan TNI dan Polri serta mengajak masyarakat yang peduli kelestarian hutan untuk mengusir perambah.

Juni 2011, petugas TNGL dibantu polisi coba mengusir perambah. Aksi itu dilawan dan sempat ricuh sehingga 11 orang, termasuk polisi, terluka dan dirawat di rumah sakit. ”Butuh waktu lama dan kesabaran tinggi. Namun, ini yang bisa kami lakukan,” kata Kepala Bidang Teknis Konservasi BB TNGL Genman S Hasibuan.

Hingga kini, 22.100 ha TNGL di Sumut dirambah. Sekitar 15.000 ha di antaranya dijadikan permukiman dan perkebunan kelapa sawit dan karet. Adapun jumlah perambah 6.000 jiwa. Mereka tersebar di Sei Minyak, Bara Induk, dan Damar Hitam.

(ITA/JON/MHF/ADH/SAH/HAN/HAM)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com