Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dunia Menua dengan Cepat...

Kompas.com - 09/11/2012, 05:29 WIB

Oleh MARIA HARTININGSIH dan FITRISIA MARTISASI

Meningkatnya usia harapan hidup adalah kemenangan pembangunan. Namun, tantangannya besar. Dampaknya memengaruhi seluruh aspek kehidupan, khususnya terkait pertumbuhan ekonomi, jaminan pendapatan, dan kesehatan kaum lanjut usia. 

alah satu fenomena terpenting abad ke-21 adalah penuaan penduduk. Laporan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNFPA, 2012, ”Ageing in the Twenty First Century: A Celebration and A Challenge” memaparkan perubahan demografi di dunia yang tak bisa ditolak. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan lanjut usia (lansia) dimulai pada usia 60 tahun.

Peluncuran laporan pada tanggal 1 Oktober 2012 menandai 10 tahun Madrid International Plan of Action on Ageing. Tema peringatan tahun ini adalah ”Umur Panjang; Membentuk Masa Depan”.

”Tak ada kekuatan yang memengaruhi kebijakan sosial-ekonomi pada abad ke-21 sebesar isu penuaan ini,” tegas Eduardo Klien, Direktur Regional Asia Timur dan Pasifik HelpAge International, pada sosialisasi laporan itu di Jakarta, Rabu (31/10) pekan lalu.

Penduduk dunia menua dengan cepat. Laporan itu merekam, setiap detik terdapat dua orang berulang tahun ke-60 di dunia, atau 58 juta setiap tahun. Hari ini, satu dari sembilan orang di dunia adalah lansia. Tahun 2050, seorang lansia di antara 5 penduduk, atau 22 persen dari total penduduk dunia yang diperkirakan berjumlah 9 miliar.

Ledakan lansia

Kepala Perwakilan UNFPA di Indonesia, Jose Ferraris, mengingatkan agar pembuat kebijakan menanggapi serius fenomena ini agar Indonesia mampu meraih deviden usia panjang (longevity benefit).

Asia menghadapi pertumbuhan jumlah populasi lansia yang belum pernah terjadi, khususnya di Asia Timur dan Tenggara. Indonesia akan menjadi salah satu negara yang mengalami penuaan penduduk dengan cepat, setelah China, Amerika Serikat, dan India.

Pakar demografi dari Universitas Indonesia, Prof Sri Moertiningsih Adioetomo–akrab disapa Tuning–mengatakan, meningkatnya jumlah lansia berkaitan dengan penurunan tingkat fertilitas, dibarengi naiknya tingkat kesejahteraan dan kesehatan.

Usia harapan hidup rata-rata di Indonesia saat ini 72 tahun, ungkap Prof Tri Budi W Rahardjo, Direktur Center for Ageing Studies UI. Perempuan lebih tinggi usia harapan hidupnya, tetapi sakit-sakitan. ”Terjadi ’feminisasi lansia’,” tambah Tuning.

Jumlah lansia saat ini mencapai 28 juta. ”Sekitar 1,8 juta di antaranya telantar, dan kemampuan pemerintah menanganinya baru menjangkau sebagian kecil,” papar Direktur Usia Lanjut Kementerian Sosial Yulia Suhartini.

Pada tahun 2025 jumlah lansia mencapai 40 juta-an orang, dan menjadi 71,6 juta dari perkiraan 310 juta penduduk Indonesia tahun 2050. ”Anggaran Kemensos untuk penanganan lansia saat ini Rp 84 miliar. Sekitar Rp 67 miliar dari dana itu digunakan untuk asistensi lansia,” kata Yulia.

Tentu saja jumlah itu jauh dari cukup untuk memenuhi tiga pilar guna menjamin hak-hak lansia–seperti yang dipaparkan Tri Budi–yakni penuaan dan pembangunan, kesehatan dan kesejahteraan, serta lingkungan fisik dan sosial. Apalagi, antara 7 sampai 8 persen lansia berada dalam kondisi sangat-sangat miskin, dan strategi pemerintah melalui bantuan langsung tunai dinilai tidak tepat.

Jaminan pendapatan

Bagian terbesar persoalan lansia adalah jaminan pendapatan dan kesehatan. Sebagian besar lansia berpendidikan rendah, tak punya jaminan pendapatan.

”Tenaga kerja formal hanya sekitar 30 persen dari total pekerja. Secara kasar hanya 10 persen yang punya pensiun, yaitu PNS, TNI/Polri, dan sedikit pegawai swasta,” ujar Kepala Lembaga Demografi (LD) UI, Sonny B Harmadi, secara terpisah.

Tri Budi menambahkan, hanya 3 persen lansia punya asuransi dan hanya 7 persen lansia punya tabungan. ”Karena memang tak ada yang bisa ditabung,” ujarnya.

Padahal, persoalan kesehatan fisik dan mental lansia membutuhkan banyak perhatian. Tri Budi menyebutkan, 80 persen lansia menderita gangguan radang sendi, persoalan gigi dan mulut, hipertensi, kesehatan mental dan infeksi, diabetes dan kardiovaskuler. Meski belum ada studinya, Tri Budi memperkirakan, biaya kesehatan lansia jauh lebih besar dibandingkan anak-anak.

Selain penyakit-penyakit diabolik, tak menular (non-communicable diseases), ahli psiko-geriatri, dr Martina Wiwie Nasrun dari RSCM, mengingatkan, beban terberat adalah demensia dan depresi.

Menurut Eduardo Klein, biaya menangani demensia di dunia tahun 2010 sekitar 604 miliar dollar AS. ”Setiap empat detik di dunia terdapat satu kasus baru demensia,” ujar Martina. ”Jumlah penderita demensia di dunia 36 juta jiwa, menjadi 65,7 juta jiwa tahun 2030. Di Indonesia sekitar 1 juta jiwa pada tahun 2010, menjadi 3 juta jiwa tahun 2050.”

Martina mengatakan, tak ada negara yang benar-benar siap menghadapi persoalan ini. ”Pendekatan yang efektif adalah mencegah, dengan mengendalikan faktor risiko yang bisa dikurangi, seperti kolesterol, diabetes, dan depresi.”

Penurunan kemampuan dan kesehatan membuat lansia rentan didiskriminasi dan diasingkan. Sekitar 67 persen lansia di negara Kamboja, Fiji, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam –seperti direkam dalam laporan UNFPA–merasa didiskriminasi serta mengalami kekerasan fisik dan psikologis.

Harus tersistem

Sementara itu, tujuh undang-undang dan peraturan terkait lansia tak mengubah secara signifikan kesejahteraan lansia. Mantan Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Dr Sulastomo mengatakan, kebijakan populis tak menyelesaikan soal, malah rentan membangkrutkan keuangan negara.

Dikatakan, kalau sistem jaminan sosial yang melibatkan masyarakat, pemerintah, dan swasta terbentuk dan dikelola transparan, bebas korupsi, banyak hal bisa diselesaikan. Sekarang masih jauh, padahal situasinya mendesak.

Sulastomo mengutip pernyataan Alan Greenspan di majalah Fortune, September 2012, ”If you get the right people in the room, you can solve Social Security in 15 minutes, and the first seven minutes are pleasantries.”

Greenspan adalah Ketua Komisi Nasional Reformasi Jaminan Sosial AS, yang tahun 1983 melaporkan hasil kajian tentang jaminan sosial kepada Kongres, karena persoalan lansia akan menguras dana.

”Artinya, kalau ada kehendak politik, pasti bisa,” kata Sulastomo, ”If you get the wrong person, ya kolaps seperti Yunani.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com