Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

20 Persen Pangan Berbahaya Masuk dari "Pelabuhan Tikus"

Kompas.com - 23/08/2013, 14:35 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


Kompas.com- Meski pelabuhan tidak resmi atau biasa disebut pelabuhan tikus sering menjadi pintu masuk barang-barang ilegal, termasuk pangan impor berbahaya, tetapi pemerintah mengaku kesulitan menerapkan sistem tata ekspor-impor berbasis National Single Windows (NSW).

Menurut Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan POM, Roy Sparingga pelabuhan tikus menjadi sumber 20 persen pangan ilegal yang beredar. "Meski jumlahnya relatif kecil tapi BPOM bersama instansi terkait akan terus melakukan pengawasan," katanya.

Penerapan Indonesia National Single Windows (INSW) dimulai pada 2010 di sesama negara anggota ASEAN. INSW digawangi 15 instansi pemerintah, salah satunya Badan POM RI. Melalui portal ini kandungan kimia atau zat lain berbahaya dalam suatu produk pangan, sesuai rekomendasi Badan POM RI, bisa langsung diketahui dan diterapkan di pintu masuk ekspor impor.

"Sampai saat ini INSW belum kita terapkan di pelabuhan tikus. INSW hanya diterapkan di lima pelabuhan besar antara lain Tanjung Priok, Tanjung Emas, Tanjung Perak, dan Belawan," kata Dirjen Bea dan Cukai, Agung Kuswandono pada Jumat (23/8).

Keberadaan portal ini penting bagi keamanan pangan yang beredar di suatu negara. Apalagi, Indonesia adalah negara kepulauan yang banyak memiliki pelabuhan tikus, terutama pada propinsi dengan garis pantai atau gugusan pulau yang banyak.

Salah satunya adalah propinsi Kepulauan Riau yang memiliki 24 ribu gugus pulau. Kepala Badan POM Batam, I Gusti Ayu Adhi Aryapatni, mengatakan, kurang lebih terdapat 70 sampai 100 pelabuhan tikus di Kepulauan Riau.

"Adanya pelabuhan tikus memungkinan kapal melakukan bongkar muat tanpa kelengkapan izin dan dokumen. Padahal tanpa izin yang jelas, kita tidak mengetahui kualitas pangan yang diimpor," kata Ary.

Akibatnya, Kepulauan Riau banjir pangan tanpa izin edar (TIE). Tahun 2013, BPOM Batam menemukan 116.506 produk pangan ilegal di propinsi tersebut. Temuan ini mencapai 80-90 persen total temuan pangan yang tidak memenuhi ketentuan. Tanpa izin edar, kualitas pangan yang sampai ke tangan masyarakat belum tentu baik.

Ary mengatakan, pihaknya sudah bekerja sama dengan pihak terkait antara lain Dinas Kesehatan dan Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi. "Namun tetap tidak maksimal karena jumlah kami tidak setara dengan pelabuhan tikus yang terus bertambah. Kami berharap bisa dibantu, baik sarana, alat, atau aparat untuk menangani pelabuhan tikus," katanya.


"Walau jumlahnya kecil, namun jangan dianggap remeh. Kita akan membatu pengawasan melalui kerjasama dengan instansi terkait, misal Bea dan Cukai," kata Roy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau