Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Autismaze Ubah Persepsi Keliru tentang Anak Autis

Kompas.com - 27/09/2013, 17:45 WIB
Wardah Fazriyati

Penulis

KOMPAS.com - Persepsi keliru yang berkembang di masyarakat mengenai individu dengan spektrum autisma atau orang awam biasa menyebutnya sebagai anak autis, membawa dampak buruk bagi anak autis juga keluarga, terutama orangtuanya. Pemulihan anak autis menjadi terkendala karena banyak orang yang tidak mengerti dan menerima keberadaan anak autis ini.

Meski kesadaran masyarakat mulai tumbuh terkait keberadaan anak autis, rupanya pengertian dan penerimaan terhadap anak autis masih rendah.

"Kesadaran tentang keberadaan anak autis sudah tumbuh, namun masyarakat belum mengerti dan menerima anak autis yang memang sangat membingungkan dari proses berpikir dan perilakunya," jelas Ketua Yayasan Autisma Indonesia (YAI) dan psikiater anak, dr Melly Budhiman, SpJK, saat dihubungi Kompas Health, Kamis (26/9/2013).

Melly mengatakan penerimaan anak autis punya peran penting terhadap keberhasilan pemulihan anak autis yang unik. Tanpa penerimaan dari lingkungannya, anak autis tidak memiliki kepercayaan diri dan akan terus menjadi korban bullying serta masih mungkin mengalami diskriminasi terutama di sekolah.

Rendahnya pengertian dan penerimaan terhadap anak autis juga berdampak pada orangtua dengan anak autis. Orangtua sulit membawa anak autis untuk bisa beradaptasi dengan lingkungannya, karena merasa khawatir atau bahkan malu, akibat tidak adanya pemahaman yang baik dan kurangnya penerimaan dari masyarakat.

Menurut Melly, anak autis dan orangtuanya paling membutuhkan pengertian. Dan memang butuh upaya lebih banyak untuk bisa membuat masyarakat mengerti kondisi individu dengan gangguan spektrum autisma ini.

Meski begitu, penerimaan akan anak autis juga tak kalah penting. "Jika mereka merasa diterima, dengan mendapatkan kesempatan sekolah atau main di taman bersama anak-anak lainnya, anak autis tidak merasa minder. Penerimaan juga membantu anak autis untuk berkembang lebih baik. Pemulihan autisma juga bisa lebih baik. Mereka menjadi lebih percaya diri, mau bergaul, dan tidak lagi di-bully," terangnya.

Ia mengakui, kebanyakan anak autis mengalami bullying di sekolah. Mereka dianggap sakit dan bisa menularkan penyakit kepada anak lainnya. Padahal, lanjutnya, anak autis tidak aneh dan tidak sakit namun mengalami gangguan perkembangan. Anak autis bukan sakit jiwa tapi individu ini memang unik. Mereka menunjukkan reaksi yang berbeda, bahkan ekstrem, terhadap hal-hal dan situasi yang terkait dengan indra penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan.

Melly menjelaskan, ada tiga gejala inti individu dengan ganguan spektrum autisma. Di antaranya, gangguan komunikasi dua arah, kemungkinan lainnya ia bicara terus-menerus atau bahkan tidak bisa bicara sama sekali; gangguan sosialisasi, tidak bisa bergaul atau menolak bergaul, merasa nyaman dengan diri sendiri; dan perilaku yang menonjol, ia merasa memiliki dunia sendiri, dan sering melakukan gerakan berulang.

"Setiap anak autis unik. Ada yang tidak mengalami gangguan namun ada juga yang mengalami satu bahkan lebih gangguan ini. Gejala pada anak autis tidak ada yang sama," ungkapnya.

Autismaze
Harapannya, masyarakat bisa lebih mengerti dan menerima kondisi anak autis yang unik. Untuk itulah, YAI menggelar kegiatan bertajuk Autismaze, sebagai salah satu bentuk kampanye peduli autisma.

Berlangsung di Epicentrum Walk, Kuningan, pada 28-30 September 2013, YAI mendirikan wahana labirin otak berukuran 255 meterpersegi yang juga diberi nama Autismaze. Melalui wahana ini, Melly mengatakan, YAI ingin mendemonstrasikan kepada masyarakat umum bagaimana keunikan anak autis.

"Wahana labirin otak ini bisa dikunjungi siapa saja, anak, remaja, dewasa. Idealnya, wahana ini menampung lima orang," terangnya.

Labirin otak Autismaze ini akan mengajak pengunjung untuk lebih mengerti anak autis. Caranya, setelah bertemu di zona pertama, anak autis akan menuntun pengunjung menelusuri tujuh zona lainnya. Sejak awal memasuki Autismaze, pengunjung akan mendapatkan pengetahuan mengapa anak autis itu unik. Dijelaskan bahwa tidak seperti orang normal, anak autis memiliki ambang batas panca indera yang tidak seimbang, bisa terlalu tinggi (hypo) atau terlalu rendah (hyper).

Berbeda dengan manusia normal yang memiliki ambang batas panca indera seimbang sehingga bisa mengontrol emosi dan mengekspresikannya dengan baik. Ketidakseimbangan ambang batas panca indera inilah yang memicu tingkah laku unik anak autis.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau