Para peneliti dari Erasmus MC-Sophia Children's Hospital di Belanda mengungkap temuan yang dipublikasikan di jurnal Clinical Endocrinology & Metabolism ini.
Meski begitu, penelitian terbaru ini tidak menjelaskan apakah anak obes cenderung lebih mudah stres dibandingkan anak sebaya yang berat badannya normal. Temuan ini juga tidak menjelaskan apakah anak obes mengatasi stres dengan cara berbeda.
Para peneliti mengukur level kortisol pada 20 anak obes dengan menggunakan sampel rambut mereka (15 perempuan dan lima laki-laki). Hal yang sama juga dilakukan pada 20 anak dengan berat badan normal. Usia mereka antara 8-12 tahun. Anak-anak ini tidak mengidap penyakit kronis, namun tiga anak obes mengalami sindrom metabolisme.
Anak obes memiliki konsentrasi kortisol rata-rata 25 pictogram dari setiap miligram rambut kepala. Sementara anak normal, konsentrasi kortisolnya 17 pictogram dari setiap miligram rambut kepala. Konsentrasi kortisol di sampel rambut ini mengindikasikan paparan kortisol selama sebulan.
"Kami tak menyangka menemukan anak obes, di usia delapan, sudah mengalami peningkatan level kortisol. Dengan menganalisa rambut kepala anak-anak, kami konfirmasikan bahwa tingkat kortisol tinggi ini bertahan dari waktu ke waktu," ungkap peneliti, Erica van den Akker.
Menurut para peneliti, perlu ada penelitian lanjutan untuk mendapatkan alasan di balik keterkaitan antara hormon stres dan anak obes ini.
Memang tidak semua stres itu buruk. Menurut Mayo Clinic, stres akut juga bisa meningkatkan kewaspadaan dan peningkatan kemampuan kognitif. Namun stres kronis berkaitan dengan masalah kesehatan seperti kenaikan berat badan, penyakit jantung, gangguan pencernaan, depresi hingga kecemasan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.