Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/06/2014, 10:42 WIB

KOMPAS.com - Kehilangan anak seakan merenggut semangat hidup Astuti Parengkuh (42). Selama seminggu ia mengunci diri di kamar, hanya sedikit makan dan tidur. Baru sebulan kemudian kondisinya berangsur pulih. Hingga pada suatu hari Astuti teringat wasiat mendiang anaknya untuk membuat buku.

Asa Putri Utami, anak kedua Astuti, meninggal di usia 10 tahun setelah setahun menderita penyakit lupus. Perjalanan Astuti menemani anaknya melawan lupus sebagian ia tuangkan di buku harian, terutama catatan resep obat dan nama-nama dokter yang merawatnya. Tidak heran jika buku Asa, Malaikat Mungilku yang ditulis Astuti bisa dengan rinci menyebut jenis obat yang dikonsumsi Asa. Ingatannya yang tajam juga membuat Astuti mampu membuat deskripsi dalam urutan waktu yang runtut bagi kisahnya.

”Dua hari sebelum meninggal, Asa mengungkapkan keinginannya membuat buku. Ia ingin saya mewujudkannya. Setelah tiada, terungkap bahwa Asa sering menulis buku harian di buku tulis yang ia sembunyikan rapi. Saya bertekad mewujudkan wasiatnya untuk membuat buku,” kata Astuti di rumahnya di Pasar Kliwon, Solo, Jawa Tengah.

Berbekal keinginan memenuhi pesan terakhir Asa, Astuti mencoba menulis buku berisi perjalanan hidup Asa dari sudut pandangnya. Kisah itu diawali sejak Astuti menikah, melahirkan, sampai saat kepulangan Asa sehingga buku yang dihasilkannya menjadi semacam memoar. Selama lima bulan Astuti menuliskan ceritanya sambil teringat kenangannya pada Asa. Ternyata, di luar perkiraan, proses penulisan itu pelan-pelan justru mengobati luka batin Astuti yang dilanda pilu kehilangan Asa.

”Saya menulis sambil menangis, kadang tersenyum dan tertawa mengingat kelucuan dan kecerdasannya menghadapi penyakitnya kala itu,” kata Astuti.

Saat paling sulit ketika Astuti tiba pada bagian menuliskan menit-menit terakhir kehidupan Asa. Ia menuliskannya sambil berurai mata mengingat pesan-pesan Asa berupa doa kepada orangtua dan kakak adiknya. Meski merasa kurang nyaman karena harus mengingat kembali masa-masa perih itu, pada akhirnya Astuti merasakan damai menyelinap di hati setelah menuangkan segala perasaan ke dalam tulisan. ”Saya bisa lebih berdamai dengan diri saya. Seperti ada kebijakan hati dan penyeimbangan emosi saat menulis,” kata Astuti.

Menulis kembali menjadi ”pelarian”-nya saat menghadapi masalah rumah tangga. Astuti menuangkannya ke dalam cerita pendek untuk menyalurkan kemarahan dan kekecewaan atas kasus perceraian yang dihadapinya. Cerita-cerita pendek itu dikirimkan dan dimuat sejumlah media lokal. ”Saya bisa lebih melihat persoalan lewat menulis,” kata Astuti.

Menulis juga menjadi caranya memprotes kondisi sekitar yang dirasakan penuh ketidakadilan dan diskriminasi. Keresahan ini ia curahkan dalam bentuk cerita fiksi atau puisi. Kepergian Asa rupanya menjadi titik balik terwujudnya bakat menulis Astuti yang lama terpendam dan tidak terasah.

Hingga kini, Astuti sudah menelurkan banyak tulisan, baik artikel, cerpen, dan puisi yang dimuat sejumlah media, novel anak, maupun buku kumpulan tulisan bersama penulis lain, seperti Senyum dan Perempuan Itu...Sesuatu.

Semenjak bercerai, Astuti yang menjadi orangtua tunggal dengan dua anak bekerja dengan memanfaatkan kemampuannya menulis. Astuti tercatat sebagai kontributor untuk situs online tentang difabel www.solider.or.id dan Jurnal Perempuan. Ia juga aktif dalam komunitas Cerita Nulis Diskusi Online (Cendol) dan sebagai pendamping bagi pasien anak berpenyakit kelainan darah di Family Supporting Group Tunas Bangsa, Yogyakarta.

Status Facebook

Kisah serupa dialami Rosalia yang menggunakan tulisan sebagai sarana menumpahkan unek-uneknya yang tidak mungkin diungkapkan secara langsung kepada orang lain. Pada mulanya, perempuan yang akrab disapa Rosa ini menulis lewat status Facebook. Akan tetapi, karena terlalu panjang, Rosa memindahkan ruang menulisnya ke blog.

Ia merasa lebih leluasa menumpahkan ganjalan lewat serangkaian tulisan. ”Saya seperti didengarkan. Kebetulan saya sudah tidak punya orangtua dan saudara. Curhat terbatas ke beberapa teman saja,” kata Rosa yang juga tinggal di Solo.

Rosa mengakui, ia tidak selalu beroleh solusi lewat menulis. Akan tetapi, ia terbantu melewati persoalan yang tengah dihadapi. Ia terbiasa menulis dengan bebas mencurahkan apa pun yang dirasakan dan dipikirkan. Sebagian kisah hidupnya terbaca di blog itu. Tulisannya terkadang mendatangkan komentar yang menguatkan dan mendukung. Rosa sempat tujuh tahun pisah ranjang dan resmi bercerai setahun lalu dengan sang suami. Kini, ia orangtua tunggal bagi putri semata wayangnya yang berusia 15 tahun.

Sejak aktif nge-blog, menulis menjadi keasyikan tersendiri bagi Rosa. Isi tulisannya kini sangat beragam, tidak lagi sebatas curahan hati. Setelah mengeluarkan buku kumpulan puisinya berjudul Nyanyian Rindu dan buku kumpulan tulisan 101 Perempuan Berkisah ke-2, Rosa kini tengah menggarap novel yang ditargetkan terbit tahun ini.

Psikolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Suci Murti Karini, mengatakan, menulis bisa dimanfaatkan untuk terapi. Aktivitas ini dapat menjadi sarana pelepasan unek-unek atau emosi. Terlebih jika orang tersebut memiliki sifat introvert.

”Pada dasarnya orang butuh teman untuk curhat. Jika orangnya ekstrovert, biasanya lebih memilih curhat secara langsung atau tatap muka. Kalau introvert, bisa menulis lewat blog atau diary untuk menyalurkan emosi dan perasaannya. Dalam menulis, silakan apa saja dicurahkan, baik rasa marah, sedih, maupun takut, agar bisa ada regulasi emosi. Pengaturan emosi adalah salah satu cara dalam terapi,” kata Suci. (Sri Rejeki)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau