Hal itu mengemuka dalam Pertemuan Ilmiah Nasional (PIN) ke-12 yang diprakarsai Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB Papdi), Jumat (5/9), di Surabaya, Jawa Timur. Acara itu diikuti 1.020 dokter, sebagian besar peserta adalah dokter spesialis penyakit dalam.
Menurut Ketua Pelaksana PIN Ari Fahrial Syam, dalam pertemuan itu, digelar 62 lokakarya yang bertempat di rumah sakit karena langsung menggunakan pasien, 14 simposium, dan 1 kuliah umum. Ada juga pameran alat kesehatan dan informasi mutakhir obat di Indonesia.
Topik pertemuan ilmiah itu, antara lain, adalah perkembangan terapi sel punca, diagnosis, dan tata laksana gangguan bipolar. Melalui topik pilihan itu, peserta diharapkan tak hanya mendapat pengetahuan terbaru, tetapi juga peningkatan kompetensi di bidang kedokteran.
Ari menjelaskan, kompetensi, bagi internis atau dokter spesialis penyakit dalam, amat penting. Hal itu untuk menjamin mutu layanan kepada pasien. Menyongsong pasar bebas di Asia Tenggara pada 2015, kompetensi menjadi amunisi untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai dokter Indonesia hanya jadi penonton di tengah serbuan dokter asing.
Menurut Sekretaris PB Papdi Sally Aman Nasution, guna menjaga kompetensi anggotanya, organisasi profesi perlu melakukan advokasi atau pendampingan bagi para dokter yang jadi anggota. Hal itu untuk menerapkan standardisasi layanan bagi masyarakat di seluruh pelosok negeri.
Perlu regulasi
Ketua Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian Ikatan Dokter Indonesia Pranawa menyatakan, pemerintah harus mendukung upaya dokter untuk memenangkan persaingan. Untuk itu, pemerintah perlu membenahi regulasi sistem kesehatan. Indonesia termasuk tertinggal dalam menyiapkan instrumen menyambut pasar bebas 2015.
”Thailand, misalnya, tak melarang dokter asing masuk asalkan menguasai bahasa lokal. Sementara Malaysia sejak lama mengirim mahasiswa kuliah di Indonesia, mereka tinggal menanti investor membangun rumah sakit di sini,” ungkap Pranawa.
Wakil Gubernur Jatim Syaifullah Yusuf mengatakan, kendati pasar bebas belum di buka, banyak warga memilih berobat ke luar negeri. Tiap tahun, potensi penerimaan negara dari sektor kesehatan yang dibawa ke luar negeri dari Jatim lebih dari Rp 2 triliun.
”Pemprov Jatim siap mendukung upaya perbaikan sistem kesehatan karena itu jadi bagian dari ketahanan nasional. Kesehatan juga merupakan tanggung jawab pemerintah,” ujarnya.
Menurut sejumlah dokter, larinya potensi penerimaan dari sektor kesehatan itu tak hanya dipengaruhi kompetensi dokter. Biaya terapi lebih murah juga jadi pertimbangan. Contohnya, biaya layanan endoskopi di Pinang, Malaysia, Rp 700.000, padahal di Jakarta mencapai Rp 1,5 juta di RS pemerintah dan Rp 2 juta di RS swasta.
Mahalnya biaya kesehatan itu karena alat kesehatan dikenai pajak barang mahal. Karena itu, masalah pajak jadi agenda yang akan dibahas bersama pemerintah pusat ke depan. Harapannya, setelah dilantik, pemerintahan yang baru dapat fokus membahas masalah kesehatan karena agenda politik sudah berlalu.
Dengan memenangi persaingan di bidang kesehatan, negara berpotensi menambah penerimaan. Jadi, tidak hanya dokter yang menikmati manfaatnya, tetapi juga masyarakat dan pemerintah. (NIK)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.