Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 28/10/2014, 13:32 WIB
Inggried Dwi Wedhaswary

Penulis

KOMPAS.com - "Kalau sudah pernah merasakan sakit, pernah dioperasi, pasti enggak mau merasakan lagi. Dan saya enggak mau merasakan dua kali".

Demikian dilontarkan praktisi vegan, raw chef, dan ayurveda coach, Janti Wignjopranoto. Ia pernah divonis kanker serviks pada tahun 1997 dan menjalani pengobatan dengan radioterapi. Pada satu titik, ia menyadari bahwa asupan makanan yang dikonsumsi akan memengaruhi kondisi dan kesehatan tubuh. Pola makannya pun bertransformasi.

Kini, Janti konsisten berbagi jurnal menu dan makanan hariannya melalui media sosial. Salah satunya melalui Instagram. Jika Anda menjadi pengikut akun milik Janti, @alterjiwo, pasti mengikuti catatan harian tentang makanan yang diolahnya sendiri. Tak sedikit yang terinspirasi. Dalam setiap postingannya, Janti gencar menyuarakan "you are what you eat" serta ajakan untuk kembali ke dapur.

"Aku berangkat dari kesadaran bahwa aku pernah kanker serviks. Sebelumnya belum terlalu sadar hingga akhirnya berat badan menggelembung sampai 75 kilogram dan aku lihat industri makanan semakin tidak jelas. Sebaiknya memang kembali ke konsep awal, ke rumah. Ibuku 100 persen ibu rumah tangga. Setiap hari selalu masakin buat aku dan bapak. Dia beli bahan makanan fresh dan langsung diolah. Yang paling baik kan hari itu dibeli, hari itu dimasak," kisah Janti, saat dijumpai Kompas.com di Yogyakarta, pekan lalu.

Transformasi pola makannya pun berlangsung secara bertahap. "Bertahap, dari vegetarian, vegan, lalu raw food, tetapi lebih cocok yang combine raw dan cook juga, ayurveda juga," katanya.

Dengan perubahan pola makan, lanjut Janti, ia merasakan perubahan pada  tubuhnya. Ia mengatakan, hampir tiga tahun terakhir, tubuhnya tak tersentuh obat-obatan. Dan ia telah sembuh total dari kanker yang dideritanya. Bagi Janti, "my food is my medicine".

Inspirasi

Janti mengatakan, proses transformasi pola makan yang dijalaninya tak terlalu sulit karena niat itu datang dari diri sendiri.

"Aku melakukannya bukan karena tren atau kata siapa. Aku mau menjadi aku, dan mencari tahu sendiri karena banyak bacaan soal itu," katanya.

Dari catatan harian yang dibagikannya di Instagram, ia juga tak menyangka bahwa tak sedikit yang terinspirasi dan kemudian belajar menerapkan pola makan yang lebih sehat.

"Ada banyak yang kasih testimoni, setelah dia banyak mengonsumsi jus atau smoothie hijau, langsung pengaruh ke kulit, berat badan, dan sebagainya," kata Janti.

Ia mengatakan, keinginan mengubah pola makan bisa diawali dengan mengurangi kebiasaan sehari-hari yang tanpa disadari tak ramah tubuh. Misalnya, mengurangi asupan mengonsumsi makanan goreng-gorengan, atau yang banyak mengandung gula.

"Mengurangi yang tepung-tepungan gluten banget. Bisa sedikit demi sedikit. Saya tidak menganjurkan orang menjadi vegan, tetapi paling enggak ada kesadaran untuk makan lebih sehat," ujar Janti.  

Kesibukan dan keterbatasan waktu selama ini selalu dianggap menjadi hambatan bagi sebagian orang untuk kembali ke dapur dan mengolah makanannya sendiri. Sebelum memutuskan pindah ke Yogyakarta, Janti menjalani kehidupannya bertahun-tahun di Ibu Kota. Aktivitas yang padat, kata dia, tak akan menjadi halangan bagi siapa pun untuk "bersibuk ria" di dapur. Apa triknya? Kuncinya, kata Janti, mau menyisihkan waktu.

"Persiapan aja, planning. Waktu saya kerja, kita harus sudah siap besok mau ngapain, punya (bahan) apa saja. Masalah jadi vegan atau apa saja, masalah planning, kayaknya kita kurang waktu, padahal banyak cuma enggak mau menyisihkan. Kalau jus, misalnya, malam bisa bikin, besok pagi tinggal diangkut. Bisa dimasukkan kulkas, walau enggak se-fresh yang gitu dibuat langsung minum. Tapi enggak masalah," papar Janti.

Bagaimana dengan pandangan yang mengatakan bahwa pola hidup sehat itu mahal dan membutuhkan pengeluaran yang lebih besar?

"Mungkin logikanya dibalik. Kenapa makanan yang tersedia murah sekali? Terbuat dari apa? Itukan diolah industri dalam skala besar sehingga harganya murah. Tetapi, isinya apa kok bisa murah? Sementara, ini ditanam sendiri, diolah sendiri. Sesuaikan saja dengan lingkungan sekitar, seperti di Jogja ini enggak mahal kok," katanya.

"Intinya kembali saja bikin sendiri, diolah sendiri," lanjutnya.

Janti juga menjadi salah satu penggerak menggeliatnya pasar organik di Yogyakarta, melalui komunitas Pasar Organik Jogja (POJOG). Setiap pekannya, ada empat hingga lima kali pasar organik yang bisa dikunjungi di Yogyakarta. Salah satunya di kediamannya di Dusun Jenengan, Maguwoharjo, DI Yogyakarta, yang diadakan setiap Kamis.

Menurut Janti, semakin hari, kesadaran mengonsumsi bahan makanan organik semakin meningkat.

"Saya ingin menularkan lebih banyak lagi melalui apa saja. Dengan kegiatan seperti ini, pasar organik, orang jadi tahu oh ternyata ada alternatif. Saya hanya ingin menularkan saja. ini enggak sulit, mudah didapat, dan bisa dilakukan," katanya.

Apa catatannya bagi mereka yang baru memulai untuk menerapkan pola makan sehat?

"Intinya, kenali diri sendiri. Aku suka sekali makan. Kalau badan kita kepingin makan, makan aja, rasakan. Misalnya, makan sudah bener lalu pengen makan lodeh atau apa, makan aja, rasakan badannya kayak apa. Setelah itu detoks. Nanti akan dirasakan perubahannya, energi menjadi lebih besar karena badannnya enggak terlalu banyak bekerja, mencerna," kata Janti.

Dalam waktu dekat, bersama praktisi vegan dan raw food, Sophie Navita dan Yoesi Ariani, akan menerbitkan e-book yang berisi resep-resep makanan sehat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com