Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/12/2014, 08:12 WIB
Heru Margianto

Penulis

Kerugian ekonomi itu ditimbulkan karena sanitasi yang buruk menimbulkan biaya untuk kesehatan, akses yang lebih mahal untuk air bersih dan hilangnya pendapatan karena masuk rumah sakit.

Persoalan sanitasi ini tidak sepenuhnya sederhana. Untuk akses sanitasi yang layak, Indonesia membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pemerintah Indonesia menargetkan, pada 2019 mendatang seluruh wilayah Indonesia harus memiliki akses air minum dan sanitasi yang layak. Hal tersebut tertuang dalam UU No 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025.

"Untuk mencapai target akses universal pada 2019 Indonesia membutuhkan sekitar Rp 274,8 triliun atau sekitar 27 miliar dolar AS untuk pengembangan air minum, sedangkan untuk pengembangan sanitasi layak dibutuhkan Rp 385,3 triliun atau sekitar 39 miliar dolar AS," kata Djoko.

Artinya, Indonesia butuh Rp 660 triliun atau sekitar 40 persen pendapatan Indonesia yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2014. (Baca: Pemerintah Butuh Dana Besar untuk Pengembangan Air Minum dan Sanitasi)

Cuci tangan

Namun, sanitasi tidak melulu menyangkut urusan besar. Sanitasi terkait erat dengan perilaku. Perilaku sehat sederhana yang rupanya menjadi tantangan yang tidak sederhana adalah menyangkut cuci tangah.

Peraturan Meteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat(STBM) menyebutkan, cuci tangan pakai sabun merupakan salah satu pilar sanitasi. Peraturan ini mengelobarasi STBM sebagai pendekatan untuk mengubah perilaku masyarakat menjadi higienis dan saniter.

Soal cuci tangan ini rupanya tidak sederhana di Indonesia. Dokter spesialis anak, Ariani Dewi Widodo, memaparkan, sebuah penelitian menunjukkan, 60 persen masyarakat tidak mencuci tangan setelah keluar dari kamar mandi. Sementara itu, dari 40 persen yang mencuci tangan, hanya 10-15 persen yang menggunakan sabun. (Baca: 60 Persen Masyarakat Tak Cuci Tangan Setelah Pakai Toilet).

Mantan Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron, saat peringatan Hari Cuci Tangan 2014 menyebutkan, baru 47 persen masyarakat Indonesia yang membiasakan cuci tangan pakai sabun (CTPS).

"CTPS cara sederhana, mudah, murah, dan bermanfaat mencegah penyakit penyebab kematian, seperti diare dan Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) yang sering menjadi penyebab kematian anak-anak, juga penyakit hepatitis, typhus, dan flu burung,” ujar Ghufron saat puncak hari Cuci Tangan Pakai Sabun di Senayan Jakarta, Sabtu (18/10/2014).

Menurut Ghufron, belum semua masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan mencuci tangan dengan benar. Ia menjelaskan, perilaku mencuci tangan yang benar adalah mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan makanan, ketika tangan kotor setelah memegang uang, binatang, atau berkebun.

Praktik mencuci tangan yang benar juga setelah buang air besar, setelah menceboki bayi atau anak, setelah menggunakan pestisida atau insektisida, dan sebelum menyusui bayi.

Mencuci tangan yang benar

Mencuci tangan tidak sekadar memasukkan tangan ke dalam air. Kasubdit Penyehatan Air dan Sanitasi Dasar (PASD) Direktorat Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Eko Saputro mengatakan, mencuci tangan yang benar harus pakai sabun dan air mengalir.

"Mencuci tangan yang benar pakai sabun dan air mengalir. Kalau pakai air kobokan, misalnya waktu mau makan di restoran, ya itu tidak akan menghilangkan kuman yang melekat di tangan," kata Eko.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau