Masalahnya, dukungan keluarga saat ini kian berkurang. Cepatnya proses transformasi sosial ekonomi dan perubahan demografi membuat banyak pasangan suami-istri hidup terpisah dari keluarga besarnya. Akibatnya, dukungan, kontrol, dan pengaruh keluarga besar kian berkurang. Mediasi dan petuah dari tetua keluarga kepada pasangan suami-istri pun tak ada.
Namun, Asniar mengingatkan proses mediasi yang dilakukan lembaga negara tak optimal dan struktural. Terbatasnya jumlah dan kemampuan tenaga yang ada serta tak adanya psikolog atau konselor perkawinan membuat proses mediasi hanya formalitas.
Persoalan lain yang memicu tingginya perceraian adalah kurangnya konseling pranikah yang mampu membekali calon pengantin dengan kemampuan mengelola keluarga. Padahal, banyak calon pengantin tak paham hakikat dan tujuannya menikah.
Keputusan menikah pun diambil begitu mudah. Orangtua pun umumnya hanya melihat kesiapan seseorang menikah berdasarkan umur dan faktor ekonomi, tanpa memperhatikan kesiapan mental emosional dan psikososial. Akibatnya, sedikit muncul masalah keluarga, keputusan cerai langsung diambil.
Semua itu membuat keluarga Indonesia kian rapuh. Bukan hanya menimbulkan pilu bagi suami-istri yang bercerai, melainkan juga bagi anak-anak mereka yang masih kecil. Lantas, bagaimana mungkin menumbuhkan generasi penerus bangsa berkualitas jika mereka tumbuh dalam keluarga yang rapuh? (B01/B02/DNE/MZW)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Parapuan adalah ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanKunjungi kanal-kanal Sonora.id
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.