Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 12/08/2015, 11:25 WIB

KOMPAS.com - Sejak 10 tahun terakhir, aktivitas fisik remaja terus menurun seiring pesatnya perkembangan teknologi. Hal itu bisa memicu kegemukan atau obesitas seiring bertambahnya usia.

 

Menurut dokter spesialis kedokteran olahraga, yang juga CEO Indonesia Sports Medicine Center, Andi Kurniawan, dalam simposium nasional obesitas ke-9, Minggu (9/8) di Jakarta, kini banyak aktivitas bisa dilakukan tanpa butuh banyak tenaga. Itu menyebabkan pergerakan tubuh remaja berkurang.

 

Ketua Himpunan Studi Obesitas Indonesia Dante Saksono Harbuwono memaparkan, dari sejumlah riset, orang gemuk di Indonesia cenderung naik 5-10 persen per tahun. Bahkan, di kota besar seperti Jakarta, separuh dari jumlah penduduknya gemuk. "Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun mengalami obesitas," ujarnya.

 

Obesitas adalah kelebihan lemak tubuh terakumulasi. Di usia produktif, idealnya kadar lemak tubuh 14-19 persen. Namun, rata-rata timbunan lemak pada tubuh warga perkotaan 33 persen, bahkan lebih. "Obesitas memicu hipertensi, stroke, penyakit jantung, dan kanker," kata Dante.

 

Hal itu karena pola hidup tak sehat, seperti kurang beraktivitas fisik serta banyak mengonsumsi makanan berminyak, bersantan, dan berkalori tinggi. Penyebab lain adalah salah persepsi pada masyarakat, misalnya, orangtua dianggap berhasil mengurus anak jika anaknya gemuk.

 

Menurut Andi, dari sejumlah riset, dalam sehari, rata-rata remaja beraktivitas fisik 20-30 menit, padahal idealnya lama aktivitas 60 menit per hari. Aktivitas fisik itu adalah intensitas gerakan seseorang per hari. "Dengan berkurangnya aktivitas fisik, kalori yang dikeluarkan berkurang sehingga asupan kalori tak imbang," ujarnya.

 

Sebagai contoh, kebiasaan menonton televisi membuat anak kurang bergerak. Tangga berjalan dan lift membuat orang tak lagi bersusah payah naik tangga dan beragam teknologi lain. Jika ada aktivitas fisik yang efektif, itu hanya sekali dalam sepekan, yakni saat pelajaran olahraga.

 

Kondisi itu menyebabkan risiko obesitas pada remaja naik seperti tampak dari hasil riset di sejumlah sekolah di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Angka obesitas pada remaja 24 persen, lebih tinggi dibandingkan 10 tahun lalu yang hanya 13 persen.

 

Untuk mengatasi obesitas, aktivitas fisik rutin, seperti jalan cepat, lari, dan berenang, perlu diperbanyak. Orangtua harus menjadi contoh bagi anaknya agar gemar berolahraga sejak usia dini. Guru berperan mendidik anak agar suka berolahraga.

 

Dante menambahkan, ada sejumlah metode terapi untuk mengatasi obesitas. Juli lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) menyetujui metode pemasangan balon ganda pada lambung dengan endoskopi lewat mulut. Itu untuk memicu rasa kenyang agar berat badan turun. (B12)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com