Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belasan Ribu Penyandang Disabilitas Psikososial Alami Kekerasan

Kompas.com - 22/03/2016, 17:07 WIB

KOMPAS.com - Pemasungan dilarang sejak 1977, tetapi hingga saat ini praktik itu masih terjadi di Indonesia. Diperkirakan ada 18.000 penyandang disabilitas psikososial yang dipasung, baik di rumah maupun di panti perawatan. Pemasungan biasanya dilakukan dengan disertai kekerasan.

Human Rights Watch, Senin (21/3), di Cemara 6 Gallery, Jakarta, merilis laporan 74 halaman mengenai praktik pemasungan yang masih terjadi di beberapa provinsi, antara lain di DKI Jakarta (Cipayung), Jawa Barat (Cianjur dan Sukabumi), Jawa Tengah (Brebes), Jawa Timur (Pasuruan), serta Bengkulu. Laporan itu diberi judul "Hidup di Neraka: Kekerasan terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia".

Laporan menyebutkan, pemasungan adalah cara yang dipilih untuk diterapkan bagi penyandang disabilitas psikososial, yakni orang dengan masalah kesehatan, seperti depresi, bipolar disorder, skizofrenia, dan katatonia. Pemasungan dilakukan dengan merantai atau mengurung seseorang di ruangan yang sesak dan tak sehat. Mereka yang dipasung tidak diperkenankan keluar dari ruangan dan melakukan semua aktivitas di dalam kurungan.

Peneliti dari Human Rights Watch asal India, Kriti Sharma, ?mengatakan, Human Rights Watch meneliti pemasungan di Indonesia sejak November 2014 dan mewawancarai 180 orang di Jawa serta Sumatera. ?Banyak penemuan yang memiriskan hati, antara lain perempuan yang berbulan-bulan dirantai di Ponorogo Jawa Timur. Ia makan, tidur, dan buang air besar di ruangan yang sama.

"Saya bertemu perempuan yang dipasung 15 tahun?. Orang dengan disabilitas psikososial dianggap kerasukan setan dan keluarga tidak tahu harus berbuat apa," kata Kriti Sharma.

Kampanye bebas pasung yang dilakukan pemerintah dinilai tidak efektif karena tak diterapkan di daerah-daerah. Sebanyak 16 institusi yang didatangi tidak tahu ada kampanye bebas pasung.

Agus (26), warga Cianjur yang pernah dipasung di kandang kambing, memberi kesaksian dalam peluncuran laporan Human Rights Watch. Ia menceritakan, orangtuanya memasung dirinya karena sering marah-marah dan dadanya terasa sangat panas.

"Saya tidur di situ. Makan serta buang air kecil dan besar juga di situ. Udara tidak segar, bau. Saya dirantai. Saya dikira kerasukan setan. Setelah empat tahun, saya dikeluarkan. Lalu saya berobat ke rumah sakit," tutur Agus.

Tanggung jawab

Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Yeni Rosa Damayanti menyatakan, pemasungan dilakukan karena tidak ada pilihan lain. Tidak ada dukungan sosial, ekonomi, dan medis.

Penanganan masalah ini merupakan tanggung jawab pemerintah. Pemerintah harus memastikan tidak ada lagi pihak yang melakukan pemasungan.

"Untuk kekerasan di panti swasta, selain panti itu bertanggung jawab, pemerintah ikut bertanggung jawab karena memberi izin bagi panti. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Hak-hak Disabilitas.? Pemerintah harus tegas memperingatkan panti-panti untuk segera menghentikan kekerasan," kata Yeni.

Shantha Rau Barriga dari Human Rights Watch New York mengingatkan perlunya pemantauan dilakukan di seluruh Indonesia. Ia juga menyoroti pentingnya strategi dan aksi untuk pelayanan kesehatan mental, salah satunya dalam bentuk membiarkan penyandang disabilitas berbaur dengan masyarakat.

?Andreas Harsono, peneliti Humas Rights Watch di Jakarta, menegaskan, kampanye penyadaran soal pelarangan pasung dan efek-efeknya harus segera dilakukan. Selain itu, pemerintah juga sebaiknya merevisi UU Kesehatan Jiwa dan RUU Penyandang Disabilitas agar dapat selaras dengan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. (IVV)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau