Dalam beberapa hari terakhir ini, banyak orangtua yang masih memiliki buah hati berusia bayi dan balita, diliputi kegelisahan dan takut dengan kabar beredarnya vaksin palsu.
Meski kepolisian sudah menangkap belasan tersangka produsen dan pemasar vaksin palsu, namun orangtua tetap cemas apakah anak mereka sudah mendapat vaksin asli dan terlindungi dari kekebalan penyakit. Terlebih jaringan pemalsu vaksin baru terkuak setelah 13 tahun.
Kementrian Kesehatan dan Badan Reserse Kriminal Polri belum membuka data rumah sakit atau layanan kesehatan mana saja yang terbukti membeli vaksin dari jaringan pengedar vaksin palsu. Para orangtua masih harus menanti dalam ketidakpastian.
Imunisasi memang topik yang selalu hangat di Indonesia. Sebelum munculnya kasus pemalsuan vaksin, para orangtua pun sudah terpecah antara yang pro dan anti-imunisasi.
Di dunia tanpa sekat sekarang, media sosial menjadi wahana baru yang mempercepat penyebaran keraguan terhadap program imunisasi, apalagi dengan pendekatan keagamaan yang meyakinkan.
Pengaruh yang kuat dari masyarakat yang anti imunisasi ini membuat banyak orangtua akhirnya merasa tidak butuh vaksinasi untuk melindungi anaknya dari kuman atau virus penyebab penyakit.
Ketika muncul berita tentang peredaran vaksin palsu, orangtua yang selama ini memilih tidak mengimunisasi anaknya merasa mendapat pembenaran baru dari tindakannya.
Hak anak
Imunisasi sesungguhnya adalah hak anak. Setiap anak berhak untuk tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat. Namun, hak tersebut memang dipengaruhi oleh sikap orangtua mereka terhadap imunisasi.
Dan melihat kondisi sekarang, hak itu juga dicabut oleh sejumlah orang yang ingin mendapat keuntungan ekonomi dengan mengorbankan kesehatan anak-anak.
Orangtua yang menolak imunisasi mungkin tak mengalami hidup saat ada wabah penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dengan imunisasi terjadi dan menelan korban jiwa. Memang setelah angka kejadian penyakit turun dan jarang terjadi, orang menjadi lengah.
Kasus di Amerika Serikat bisa menjadi contoh. Laporan Pusat Pengendalian dan Pencegahan penyakit (CDC) AS menyatakan, pada Januari 2015 hingga 17 April 2015, ada 162 kasus campak yang tersebar di 19 negara bagian. Sumber penularan diketahui dari seorang anak yang tidak divaksin lalu tertular virus ini dan menularkannya ke anak-anak lain.
Sementara itu di Padang pada tahun 2012 terjadi wabah difteri. Hasil penelusuran mengungkap, setelah adanya seminar antivaksin tahun 2012 di Sumatera Barat, imunisasi dalam dua tahun setelahnya menurun drastis, dari 93 persen menjadi 35 persen.
Penyakit difteri yang menyerang saluran pernapasan atas ini mengakibatkan dua korban anak-anak meninggal dunia karena tidak divaksinasi. Padahal, difteri bisa dicegah dengan imunisasi DPT yang sudah diwajibkan pemerintah.
Memang ada anak yang tidak divaksin tetapi sehat-sehat saja. Kemungkinan besar anak tersebut mendapat efek perlindungan dari lingkungan di sekitarnya yang sudah mendapat vaksin.