Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Umar, Pasien Penyakit Langka Sindrom Hunter

Kompas.com - 01/03/2017, 12:44 WIB
Dian Maharani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Siang itu Umar Abdul Aziz (5) sedang asyik mencoret-coret selembar kertas. Umar tampak lebih bebas beraktivitas karena hidungnya tak lagi terus mengeluarkan lendir.

Umar adalah pasien Mukopolisakaridosis (mps) tipe 2 atau Sindrom hunter. Ia mengalami kelainan metabolik bawaan yang langka sehingga tidak bisa memetabolisme zat glikosaminoglikans. Penyakit langka ini bisa menyebabkan perubahan pada wajah, sendi, tulang, jantung, otak, dan organ tubuh lainnya.

Ibu Umar, Fitri Yenti (35) menceritakan, mulanya tidak ada tanda-tanda kelainan pada putranya. Anak ketiga dari lima bersaudara itu lahir normal seperti bayi lainnya. Namun, saat berusia lima bulan Umar belum bisa tengkurap. Umar mengalami keterlambatan motorik sehingga baru bisa berjalan pada usia 17 bulan.

"Dia juga keluarkan ingus terus. Kayak pilek enggak pernah berhenti," ujar Fitri saat ditemui dalam acara peringatan Hari Penyakit Langka di RSCM Kiara, Selasa (28/2/2017).

Akibat pilek yang tak kunjung sembuh, Umar mengalami pansinusitis. Sampai usia tiga tahun, Umar sudah bolak balik rumah sakit untuk periksa masalah kesehatannya. Namun, beberapa dokter belum juga menemukan penyakit Umar. Bahkan ada dokter yang menyatakan Umar tak punya masalah kesehatan serius.

Kemudian Umar juga memiliki pembengkakkan adenoid di saluran pernapasannya. Adenoid itu harus dioperasi karena menyulitkan Umar untuk bernapas. "Ia sempat bernapas dari mulut saja," terang Fitri.

Perkembangan dan pertumbuhan Umar pun terus mengalami penurunan, salah satunya sulit mendengar dan tidak bisa bicara.

Saat akan operasi adenoid itulah Umar bertemu dokter yang mencurigai ia memiliki penyakit langka MPS. Setelah melihat riwayat masalah kesehatan Umar, dokter di Tangerang merujuk Umar ke RSCM.

Di RSCM, Umar akhirnya dipertemukan dengan  Dr.dr. Damayanti R Sjarif, SpA(K), Ketua Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM. Sampel darah Umar kemudian dikirim ke laboratorium di luar negeri karena di Indonesia belum ada alat diagnostik untuk penyakit langka. Umar dinyatakan terkena MPS tipe 2.

Kompas.com/Dian Maharani Umar Abdul Aziz, anak penderita penyakit langka.
Terapi sulih enzim

MPS tipe 2 merupakan salah satu penyakit langka yang sudah ada obatnya. Obat yang efektif, yaitu terapi sulih enzim yang berfungsi memecah zat glikosaminoglikans. Sayangnya, obat tersebut belum ada di Indonesia dan harganya sangat mahal, yakni sekitar Rp 3 miliar untuk pemakaian selama 6 bulan.

Saat itu Umar sangat membutuhkan terapi sulih enzim. Akibat tidak ada enzim yang membantu memecah zat glikosaminoglikans, terjadi penumpukkan zat tersebut di persendian Umar. Salah satunya penumpukkan di saluran pernapasan yang bisa berujung pada kematian akibat penyumbatan.

Namun, Rp 3 miliar tentu bukan jumlah uang yang sedikit. Fitri mengungkapkan, saat itu dokter Damayanti dan timnya mengusahakan agar Umar mendapatkan donasi untuk terapi sulih enzim.

"Alhamdulillah dapat donasi dari Sanofi untuk terapi sulih enzim. Untuk biaya ruangannya pakai BPJS," ungkap Fitri.

Umar adalah pasien pertama di Indonesia yang mendapat donasi untuk terapi sulih enzim. Terapi sulih enzim pada Umar dilakukan mulai Oktober 2016. Minggu pertama pemberian sulih enzim, Umar langsung mengalami perubahan signifikan.

"Pemberian pertama (terapi sulih enzim), ingusnya sudah enggak kayak biasanya. Langsung berhenti, kalau dulu tiap sebentar buang ingus," cerita Fitri.

Perkembangan lainnya, Umar sudah kembali mengeluarkan kata-kata. Kata-kata yang paling dinanti-nanti dari Fitri, yaitu Umar bisa memanggilnya "Mama".

"Alhamdulilah, kalau kayak grafik, dulu itu grafiknya turun, sekrang naik lagi. Kata yang dulu sempat hilang, dia sekarang ngoceh lagi 'mama... mama'," ucap Fitri bahagia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau