Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/03/2017, 10:00 WIB
Dr. Andreas Prasadja, RPSGT

Penulis

Pada 17 Maret 2017, diperingati sebagai Hari Kesehatan Tidur Sedunia. Semua ahli kesehatan tidur di dunia merayakannya dengan berbagi pengetahuan dan membangun kesadaran akan kesehatan tidur.

Memprihatinkan, karena menurut Ariana Huffinton dalam bukunya "Sleep Revolution" dikatakan bahwa kita hidup di masa keemasan kesehatan tidur, begitu banyak penelitian, begitu banyak data yang ungkapkan betapa pentingnya kesehatan tidur. Tapi di sisi lain masyarakat belum juga tersadarkan. Deru kehidupan masih memuja kekurangan tidur. Produktivitas masih diukur dari jumlah jam bekerja, bukan pada kualitas hasil kerja.

Di jalan-jalan, tempat kerja, mal hingga kelas-kelas kita saksikan orang-orang mengantuk. Mereka bekerja, beraktivitas layaknya zombie akibat tidur yang tidak sehat. Bahkan banyak produk konsumsi beriklan dapat meningkatkan konsentrasi, vitalitas dan kebugaran. Dengan kata lain, mencoba mengganti efek restoratif tidur!

Tidur adalah kebutuhan dasar manusia, sama seperti makan dan bernafas. Seperti tema World Sleep Day 2017, Sleep Soundly, Nurture Life; tidur merawat kehidupan. Tanpa tidur, kehidupan tak dapat berlangsung mulus. Tanpa tidur yang sehat, nutrisi yang telah di jaga dan olah raga yang dilatih rutin jadi percuma. Karena tidur sehat merupakan dasar dari kesehatan yang optimal.

Insomnia

Sekitar 30-40 persen populasi mengaku pernah mengalami gangguan tidur. Sulit jatuh tidur, sulit mempertahankan tidur dan mudah terbangun hingga sulit tidur kembali. Bukan itu saja, beberapa orang juga mengartikan bangun tak segar dan terus mengantuk sebagai insomnia.

Kondisi kurang tidur membuat kita rentan alami kecelakaan. Persisnya, penderita insomnia memiliki risiko kecelakaan 7 persen lebih besar dibanding yang tidur normal.

Insomnia, jelas mengganggu kualitas hidup seseorang, dari faktor emosi, produktivitas hingga kehidupan seksual. Performa otak jelas menurun akibat kurangnya tidur, juga penderita jadi lebih mudah cemas dan depresi.

Mendengkur dan sleep apnea

Henti nafas saat tidur alias sleep apnea, banyak diderita di Indonesia. Di Jakarta sendiri diperkirakan ada 20 persen penderita sleep apnea. Penelitian di negara-negara Asia juga menunjukkan angka yang mirip.

Sayangnya mendengkur di Indonesia masih dianggap hal biasa. Kepekaan akan bahaya sleep apnea masih belum menyebar luas. Padahal akibatnya dirasakan pada peningkatan tekanan darah, penyakit jantung, stroke, diabetes bahkan kematian sudah semakin mengkhawatirkan.

Kesehatan tidur di Indonesia harus semakin dikenalkan. Kesadaran akan tidak produktifnya mengantuk dan bahayanya bagi keselamatan juga harus semakin digalakkan. Demi kualitas manusia Indonesia yang lebih baik, mulailah perhatikan kesehatan tidur.

Sleep Soundly, Nurture Life.
Happy World Sleep Day 2017.

Dr. Andreas Prasadja, RPSGT
Sleep Disorder Clinic RS. Mitra Kemayoran
FB: @dokterAndreasPrasadja

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau