Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bullying (Perundungan): Penyebab, Jenis, Dampak

Kompas.com - 14/02/2020, 10:33 WIB
Mahardini Nur Afifah

Penulis

KOMPAS.com - Kasus bullying atau perundungan belakangan jamak menjadi sorotan dan pembicaraan.

Beberapa kasus perundungan yang mencuat belakangan jamak melibatkan anak-anak sekolah.

Namun, sebenarnya perundungan tidak pandang bulu. Pasalnya, tindakan ini bisa menimpa siapa saja dan dapat terjadi sewaktu-waktu.

Baik itu di sekolah, di jalan, lingkar keluarga, pertemanan, sampai di tempat kerja.

Baca juga: Benarkah Pola Asuh Tentukan Kepribadian Anak Sulung, Tengah, dan Bungsu bak Film NKCTHI?

Apa itu bullying?

Melansir laman resmi Bullying.co.uk, bullying adalah perilaku yang ditujukan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental.

Sedangkan laman resmi Stopbullying.gov menyebut, perundungan umumnya melibatkan perilaku agresif.

Selain itu, bullying juga ditandai ketidakseimbangan kekuatan (bisa fisik, akses informasi, sampai popularitas) untuk menunjukkan kekuasaan pelaku atas korban.

Tindakah bullying umumnya tidak terjadi hanya satu kali. Melainkan, berpotensi berulang atau lebih dari satu kali.

Baca juga: Bagaimana Cara Tepat Membincangkan Vape dengan Anak?

Jenis-jenis bullying

Perundungan bentuknya bisa bermacam-macam. Termasuk menyerang fisik dan mental, menyebarkan gosip, atau mengacuhkan orang lain dengan sengaja.

Ada tiga jenis utama perundungan. Antara lain:

  1. Verbal: mengatakan atau menulis sesuatu yang tidak berkenan di hati korban. Misalkan mengancam, menggoda, mengganti nama panggilan, berkomentar jelek, mengejek, dll
  2. Sosial: mempermalukan seseorang di depan umum, mengucilkan, sampai menyebarkan gosip tentang seseorang
  3. Fisik: memalak, melukai tubuh orang lain, memukul, menendang, mencubit, meludahi, mendorong, sampai dengan sengaja mengambil barang orang lain

Baca juga: Speech Delay Pada Anak: Definisi, Gejala, dan Cara Penanganannya

Penyebab terjadinya bullying

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, perundungan dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban.

Melansir BBC, pelaku perundungan biasanya memiliki masalah keluarga, stres, atau trauma.

Sebuah riset pada 2016 lalu menyebut, lebih dari sepertiga pelaku bullying tidak banyak berinteraksi dengan orangtua atau wali mereka.

Sejumlah responden pelaku bullying juga menyebut, mereka melihat pertengkaran di rumah setiap hari.

Selain itu, riset yang diselenggarakan Ditch the Label pada 8.850 responden berusia 12 hingga 20 tahun mengungkapkan, sebanyak 14 persen pelaku bullying sudah pernah menjadi korban.

Hasil studi juga menunjukkan, orang yang pernah diintimidasi dua kali lebih berpeluang menjadi pelaku bullying ketimbang orang yang tidak pernah diintimidasi.

Baca juga: Ala Anak Muda, Dokter Pakai TikTok untuk Bicarakan Depresi sampai Vape

Dampak bullying bagi korban

Perundungan dapat menimbulkan dampak luas dan jangka panjang bagi korban.

Melansir Verywell Health, dampak secara langsung bagi korban perundungan adalah rendahnya rasa percaya diri.

Orang yang terus-menerus diejek gemuk, hitam, atau bodoh, perlahan-lahan percaya ejekan tersebut benar.

Korban yang sering di-bully umumnya juga merasa marah, sedih, tidak berdaya, frustasi, kesepian, dan terisolasi dari lingkungannya.

Jika dibiarkan terus-menerus, korban perundungan bisa merasa depresi, bahkan bisa berpikir untuk bunuh diri.

Saat anak-anak korban perundungan terus di-bully dalam proses tumbuh dewasa, korban dapat mengembangkan interaksi sosial.

Korban perundungan juga bisa sulit percaya pada orang lain, merasakan bullying adalah hal yang lumrah, sampai berakhir justru menyalahkan diri sendiri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau