KOMPAS.com - Di era "New Normal", wisata pendakian gunung kembali dibuka. Tentunya, ini menjadi kabar menyenangkan bagi para pecinta ketinggian yang dulu sempat menjamur sebelum adanya pandemi Covid-19.
Kembali melakukan aktivitas mendaki akan membuat kita rentan mengalami penyakit ketinggian atau yang kerap disebut dengan "altitude sickness".
Hal ini akan membuat kita merasa pusing dan lelah secara tiba-tiba. Menurut ahl pulmonologi dari Cleveland Clinic, Humberto Choi, altitude sickness terjadi ketika tubuh tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan bertekanan rendah atau rendah oksigen.
Baca juga: 5 Komplikasi Akibat Tekanan Darah Tinggi yang Harus Diwaspadai
Biasanya, lingkungan dengan kadar oksigen rendah ini berada di ketinggian di atas 2.500 meter di atas permukaan laut.
Altitude sickness juga membuat kita berisiko mengalami masalah pernapasan hingga kematian.
Altitude sickness terjadi karena tekanan di udara yang turun atau kadar oksigen yang rendah.
Saat kita mendaki dengan kecepatan tinggi, tubuh tifak mempunyai cukup waktu untuk menyesuaikan diri dengan kadar oksigen yang berkurang.
Hal ini membuat pernapasan menjadi terengah-engah hingga memicu gejala seperti orang yang sedang mabuk, contohnya sakit kepala.
"Ketika tubuh Anda berada dalam situasi yang penuh tekanan disertai dengan oksigen rendah dan tekanan udara yang rendah, Anda harus beradaptasi dengannya," kata Dr. Choi.
Jika tidak dapat beradaptasi dengan ketinggian, hal itu dapat menyebabkan pembengkakan pada beberapa organ tubuh, khususnya otak dan paru-paru.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.