Hal senada juga diungkap oleh dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ dan dr. Dharmawan Ardi Purnama, Sp.KJ.
Merka juga setuju bahwa tingginya angka DALY dan Prevalensi dapat dikarenakan kurangnya fasilitas kesehatan jiwa dan masih banyaknya stigma tentang penyakit jiwa di Indonesia.
Bahkan, pasien gangguan jiwa justru sering menjadi korban dari suatu kekerasan dan mengalami trauma.
“Memang bisa pasien menjadi agresif, tapi lebih banyak lagi pasien yang jadi korban kekerasan dan mengalami trauma,” ujar Dharmawan.
Diskriminasi terhadap penderita dapat berupa perkataan atau label, seperti “orang gila”, “orang sakit jiwa”, dan dapat juga berupa perilaku seperti diperlakukan dengan tidak adil, ditelantarkan, dikucilkan, diikat, hingga dipukul.
Baca juga: Bagaimana Kelebihan Dopamin Bikin Halusinasi dan Berkaitan dengan Skizofrenia?
Tindakan yang dilakukan di beberapa rumah tangga dengan pasien skizofrenia sebanyak 31 persen berupa pasung dan tidak ditangani dengan tenaga kesehatan profesional (Riskesdas, 2018).
Dharmawan mengatakan, keluarga memiliki peran besar untuk mencarikan anggota keluarga skizofrenia bantuan karena pasien tidak dapat mempertanggungjawabkan tindakannya.
Dharmawan juga menekankan apabila tidak segera ditangani, pasien dapat mengalami perburukan sehingga semakin tidak dapat dipulihkan.
“Jika sudah perburukan, akan timbul gejala sisa. Gejala sisa yang paling sulit diatasi yaitu gejala negatif, seperti menarik diri, susah berpikir, ekspresi afektif menumpul sampai datar, sehingga pasiennya seperti orang yang tidak punya gairah dan tujuan, hingga bunuh diri” ujar Dharmawan.
“Stigma yang masih tinggi, edukasi rendah, dan masih menganggap skizofrenia tidak bisa diobati atau hanya dikira guna-guna magic masih tinggi juga,” ucap dr. Dharmawan
Stigma yang beredar di masyarakat tentang skizofrenia dapat menghalangi penderita untuk mencari bantuan.
Pasien merasa malu apabila mengaku ada yang salah dari dirinya.
Stigma juga dapat membuat keluarga dan lingkungan sekitar menjadi tidak suportif.
Akibatnya, pasien tidak memiliki dukungan sosial dan menyulitkan proses pengobatan.
Apabila stigma dan prasangka akan skizofrenia terus berlanjut, banyak penderita yang tidak terdiagnosis dan tidak terobati.
Baca juga: Skizofrenia Paranoid
Jika tidak segera mendapat bantuan, skizofrenia dapat berakibat fatal seperti bunuh diri.
“Saya percaya isu kesehatan mental ditangani secara sistemik, mulai dari rumah tangga hingga lembaga pengambil keputusan, seperti legislatif maupun eksekutif," kata Jiemi.
"Akan baik juga bila kita bisa memulai di sekolah, misalnya kurikulum atau kampanye anti perundungan, sistem pencegahan perundungan, atau pengenalan terhadap bentuk tubuh yang beragam, sehingga tidak terjebak pada diet-diet yang bermasalah yang memunculkan eating disorder, dan lain sebagainya,” sambungnya.
Indonesia perlu mengedukasi masyarakat akan skizofrenia dan gangguan kejiwaan lainnya dan menyediakan layanan jiwa yang memadai dan tersedia untuk semua orang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.