Oleh: Rintan Fauziyyah Alya, S.Psi, Dr. Zamralita, M.M., Psikolog dan Dr. Ir. Rita Markus Idulfilastri, M.Psi.T
PANDEMI COVID-19 menimbulkan dampak perubahan yang besar bagi kehidupan masyarakat di berbagai sektor, salah satunya adalah sektor kesehatan.
Adanya tekanan kerja, beban kerja yang berat, sumber daya yang tidak memadai, serta risiko keselamatan yang rentan terpapar COVID-19 hingga mengancam jiwa, menjadi tantangan luar biasa bagi para tenaga kesehatan sebagai garda terdepan dalam menangani pandemi COVID-19 yang dapat memengaruhi kesehatan mental, terutama dalam hal kelelahan (burnout) (Cotel, et al., 2021).
Burnout merupakan keadaan kelelahan terkait dengan pekerjaan yang ditandai dengan beberapa gejala (Schaufeli, De Witte, & Desart, 2020), yaitu:
Pertama, kelelahan ekstrem (exhaustion), seperti kekurangan energi untuk memulai pekerjaan baru, merasa terkuras energinya setelah seharian bekerja, dan merasa cepat lelah meskipun hanya menghabiskan sedikit usaha di tempat kerja.
Kedua, berkurangnya kemampuan mengatur proses kognitif (cognitive impairment), meliputi kesulitan untuk berpikir jernih dan mempelajari hal-hal baru di tempat kerja, menjadi pelupa dan linglung, daya ingat yang buruk, berkurangnya konsentrasi, serta kesulitan untuk tetap fokus di tempat kerja.
Ketiga, berkurangnya kemampuan mengatur proses emosional (emotional impairment), mengacu pada kondisi di mana seseorang merasakan kewalahan karena emosi yang dimilikinya.
Keempat, jarak mental (mental distance), meliputi sikap ketidakpedulian dan sinis, sedikit atau tidak ada rasa antusias dan minat terhadap pekerjaan yang dimiliki.
Adapun survei mengenai burnout pada tenaga kesehatan di seluruh Indonesia yang telah dilakukan oleh Program Studi Magister Kedokteran Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (MKK FKUI) pada tahun 2020.
Berdasarkan hasil survei tersebut, ditemukan bahwa sebanyak 83 persen tenaga kesehatan di Indonesia telah mengalami burnout syndrome dengan level sedang sampai berat yang secara psikologis berisiko mengganggu kualitas hidup, dan produktivitas kerja dalam pelayanan kesehatan (Humas FKUI, 2020).
Mayoritas responden (55 persen) yang mengikuti survei penelitian MKK FKUI tersebut, menyatakan pernah menangani pasien COVID-19.
Tenaga kesehatan yang terlibat dalam penanganan atau perawatan pasien COVID-19 memiliki peluang yang jauh lebih tinggi untuk mengalami burnout daripada yang tidak terlibat (Nishimura, Miyoshi, Hagiya, Kosaki, & Otsuka, 2021).
Individu membutuhkan upaya tambahan untuk mencapai tujuan kerja dan untuk mencegah penurunan kinerja (Schaufeli & Taris, 2014), salah satunya dapat menggunakan sumber daya pribadi (personal resources).
Sumber daya pribadi merupakan faktor penting dalam memfasilitasi adaptasi terhadap lingkungan kerja di antara tenaga kesehatan yang memungkinkan mereka untuk mengatasi kondisi kerja yang sangat menuntut (Contreras, Espinosa, & Esguerra, 2020).
Salah satu sumber daya pribadi yang dapat digunakan individu sebagai ketahanan diri dan kontrol diri yang dapat mengurangi burnout, adalah seperti resiliensi (Bakker & de Vries, 2021).
Resiliensi mengacu pada kemampuan individu untuk berkembang meskipun menghadapi kesulitan (Campbell-Sills & Stein, 2007).
Individu dengan resiliensi yang baik, dianggap memiliki karakteristik yang meliputi tahan banting (hardiness), memiliki kontrol diri, kecerdasan emosional, optimis, ketekunan, dan kemampuan untuk menghadapi masalah (Stanley, Buvaneswari, & Arumugam, 2018).
Penelitian yang dilakukan oleh Lee et al. (2019), membuktikan bahwa resiliensi dapat menjadi faktor pelindung untuk mengatur dan mencegah burnout.
Selain itu, penelitian lain yang dilakukan oleh Stanley, Buvaneswari, dan Arumugam (2018) juga menunjukkan bahwa resiliensi dapat menjadi efek penyangga dari stres terhadap burnout.
Artinya, resiliensi menjadi faktor kunci yang memungkinkan individu menghadapi stres terkait pekerjaan dan dapat meminimalkan kemungkinan mengalami burnout (Stanley, Buvaneswari, & Arumugam, 2018).
Resiliensi bukanlah sesuatu yang dimiliki individu sejak lahir, melainkan harus dibangun melalui kebiasaan, kemudian diperkuat dan dipelihara.
Adapun beberapa cara berbasis ilmiah untuk mengembangkan atau memperkuat resiliensi di masa-masa sulit, seperti pandemi COVID-19 ini (Bridges, 2020):
1. Foster Wellness (Menjaga Kesehatan) -American Psychological Association (APA)
Menjaga kesehatan secara fisik dengan memperhatikan nutrisi yang tepat, tidur yang cukup, terhidrasi, dan berolahraga secara teratur, dapat membantu mengurangi kecemasan dan depresi, serta memperkuat tubuh untuk beradaptasi dengan stres.
2. Nurture A Positive View of Yourself (Kembangan Pandangan Positif Tentang Diri Anda) -American Psychological Association (APA)
Membangun self-esteem (harga diri) dan self-confidence (kepercayaan diri) pada kemampuan diri Anda dalam memecahkan masalah dapat membantu meningkatkan resiliensi.
3. Practice Self-Compassion -Psychology Today
Meluangkan waktu untuk melepaskan kekecewaan Anda atau beristirahat dari rutinitas Anda, seperti berjalan-jalan di alam dapat membantu untuk memproses pikiran Anda dan melepaskan emosi yang terpendam.
Setelah tenang, teliti beberapa pilihan, dan buka pikiran Anda terhadap semua kemungkinan. Bawa kebaikan untuk diri sendiri dalam menjaga kepercayaan diri Anda tetap utuh selama menghadapi masa-masa sulit yang membantu Anda meningkatkan resiliensi.
4. Make It A Habbit (Jadikan Ini Kebiasaan) -Harvard Health
Harvard T.H. Chan School of Public Health merekomendasikan untuk mengembangkan pemikiran positif, lebih banyak tertawa, dan bersikap optimis untuk membantu membangun resiliensi.
Semakin banyak kebiasaan yang meningkatkan kesehatan fisik dan mental Anda, dapat membantu membangun kepercayaan diri Anda, dan akan membantu Anda melewati saat-saat paling sulit dari rasa sakit dan kesedihan.
*Rintan Fauziyyah Alya, S.Psi, Mahasiswa Program Studi Magister Psikologi, Universitas Tarumanagara
*Dr. Zamralita, M.M., Psikolog dan Dr. Ir. Rita Markus Idulfilastri, M.Psi.T, Dosen Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara