SAAT awal pandemi, banyak sekali suara yang menyebutkan keunggulan metode autofagi. Tentu saja yang dimaksud adalah intermitten fasting. Bukan mekanisme autofagi itu sendiri.
Autofagi diklaim meningkatkan kekebalan alami seseorang. Apalagi di Indonesia, beberapa selebriti mengaku sebagai praktisinya. Mereka sehat, walau keseharian bergaul dengan penderita Covid-19.
Demam pendekatan alami dalam menghadapi penyakit semakin marak. Apalagi autofagi identik dengan intermitten fasting. Aktivitas yang biasa dilakukan para naturalis.
Apalagi Nobel tahun 2016 dihadiahkan atas pembuktian fenomena tersebut. Meski sebenarnya hadiah tersebut diberikan pada pembuktian dengan sel ragi. Bukan dengan memperlihatkan aktivitasnya pada tubuh manusia.
Di lain pihak, para peneliti autofagi selalu dilanda kegamangan dalam menerapkan teori autofagi pada pelayanan praktik sehari-hari. Banyak hal yang bersifat kontradiktif mereka temukan. Misalnya pada kanker.
Pada kanker, fenomena autofagi ibarat makan buah simalakama. Tidak mungkin untuk diterapkan. Karena akan semakin membuat sel kanker agresif. Sel kanker bersifat memakan sel lainnya yang sehat.
Namun pada penyakit infeksi, banyak penelitian menunjukkan keunggulan metode autofagi. Di India bahkan pernah dilakukan uji klinis pada penderita TB MDR.
Hasilnya sangat menggembirakan. Akhirnya disimpulkan, autofagi memicu sistem imunitas tubuh seseorang.
Namun pendapat itu runtuh saat seorang selebriti yang juga Youtuber terkenal mengumumkan tertular Covid-19.
Beragam tanggapan muncul atas pengumuman tersebut. Sebagian besar menghujat, menuduhnya sebagai endoser vaksin. Namun yang membela juga tidak sedikit.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.