Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dikdik Kodarusman
Dokter RSUD Majalengka

Dokter, peminat kajian autofagi. Saat ini bekerja di RSUD Majalengka, Jawa Barat

Imunitas Bukan Satu-satunya Solusi Menanggulangi Infeksi

Kompas.com - 11/10/2022, 10:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT awal pandemi, banyak sekali suara yang menyebutkan keunggulan metode autofagi. Tentu saja yang dimaksud adalah intermitten fasting. Bukan mekanisme autofagi itu sendiri.

Autofagi diklaim meningkatkan kekebalan alami seseorang. Apalagi di Indonesia, beberapa selebriti mengaku sebagai praktisinya. Mereka sehat, walau keseharian bergaul dengan penderita Covid-19.

Demam pendekatan alami dalam menghadapi penyakit semakin marak. Apalagi autofagi identik dengan intermitten fasting. Aktivitas yang biasa dilakukan para naturalis.

Apalagi Nobel tahun 2016 dihadiahkan atas pembuktian fenomena tersebut. Meski sebenarnya hadiah tersebut diberikan pada pembuktian dengan sel ragi. Bukan dengan memperlihatkan aktivitasnya pada tubuh manusia.

Di lain pihak, para peneliti autofagi selalu dilanda kegamangan dalam menerapkan teori autofagi pada pelayanan praktik sehari-hari. Banyak hal yang bersifat kontradiktif mereka temukan. Misalnya pada kanker.

Pada kanker, fenomena autofagi ibarat makan buah simalakama. Tidak mungkin untuk diterapkan. Karena akan semakin membuat sel kanker agresif. Sel kanker bersifat memakan sel lainnya yang sehat.

Namun pada penyakit infeksi, banyak penelitian menunjukkan keunggulan metode autofagi. Di India bahkan pernah dilakukan uji klinis pada penderita TB MDR.

Hasilnya sangat menggembirakan. Akhirnya disimpulkan, autofagi memicu sistem imunitas tubuh seseorang.

Namun pendapat itu runtuh saat seorang selebriti yang juga Youtuber terkenal mengumumkan tertular Covid-19.

Beragam tanggapan muncul atas pengumuman tersebut. Sebagian besar menghujat, menuduhnya sebagai endoser vaksin. Namun yang membela juga tidak sedikit.

Tanggapan itu sangat wajar. Apalagi Youtuber tersebut pernah menceritakan status kesehatannya. Dari cerita tersebut tergambar kualitas imunitasnya yang sangat baik. Rasanya sangat tidak mungkin tertular penyakit infeksi.

Sayangnya para penghujat tidak teliti mencermati ceritanya. Dia sama sekali bukan sakit karena infeksi Covid-19. Dia sakit justru karena sistem imunitasnya!

Tentu pernyataan ini akan ditanggapi beragam. Tapi sejawat yang berpikiran tenang akan menyetujui. Tidak selamanya sistem imunitas berakibat baik bagi seseorang. Dalam kasus Youtuber ini, justru berakibat buruk.

Apa yang dialami Youtuber ini adalah respons sistem imunitas yang berlebihan. Biasa disebut hipersensitifitas. Namun yang mengganggu saya adalah terminologi "Badai Sitokin".

Istilah badai sitokin memang telah lama digunakan. Istilah ini muncul sejak epidemi SARS . Istilah ini juga muncul saat terjadi epidemi MERS COV. Dua epdemi sebelumnya yang juga disebabkan oleh virus corona.

Istilah ini digunakan saat ditemukan adanya gambaran radiologis pada penderita Covid-19.

Temuan ini juga disertai dengan peningkatan temuan tanda-tanda peradangan akut pada pemeriksaan darah. Beberapa indikator peradangan seperti hitung jenis, jumlah leukosit dan lain-lain meningkat. Sehingga ditafsirkan kondisi badai sitokin.

Secara medis kondisi ini tentu sangat luar biasa. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas.

Sitokin adalah salah satu mediator peradangan yang memiliki fungsi yang berbeda dengan mediator peradangan lain. Fungsi utama sitokin adalah sebagai sistem informasi, sinyal adanya kerusakan sel. Dengan sinyal tersebut, tubuh merespons dengan berbagai cara.

Namun kesan yang timbul dari istilah badai sitokin adalah kerusakan atau perubahan jaringan. Khususnya, pada sel parenkim paru.

Padahal bukan itu fungsi sitokin. Respons jaringan lokal biasanya diberikan oleh mediator peradangan lain. Seperti histamin atau prostaglandin.

Namun jika benar, maka hal itu menimbulkan konsekuensi dampak yang tidak hanya dirasakan saat itu tapi juga di masa depan. Jika sitokin direspons sedemikian rupa oleh sel-sel imun, artinya telah terjadi kesalahan identifikasi.

Hal ini biasa disebut penyakit autoimun. Ini adalah memori sel imun yang akan segera menyerang sel tubuh sendiri saat jumlahnya meningkat.

Bisa disebut telah terjadi 'perang saudara' di dalam tubuh. Karena telah terjadi kesalahan informasi tentang siapa musuh sebenarnya yang harus dilawan.

Kondisi ini juga bisa merupakan indikasi awal bakal terjadinya kanker. Kanker ini merupakan upaya pertahanan diri dari sel-sel yang diserang. Hal ini merupakan respons adaptif dasar mahluk hidup. Mahluk hidup hingga tingkatan sel memiliki naluri untuk mempertahankan diri.

Respons adaptif dibentuk saat terjadi stimulus lingkungan yang mengancam integritas sel. Meski respons tersebut tidak mengubah fisik sel. Namun respons tersebut mengubah sifat sel tersebut menjadi lebih agresif.

Ini yang tidak dipahami dalam pendukung penguatan sistem imun. Seolah sistem imun adalah segalanya dalam menanggulangi infeksi.

Perdebatan kelompok antivaksin dengan kelompok provaksin juga menyangkut hal ini. Yang satu mengandalkan kekebalan alami, sedang yang lain bicara tentang inate imunity.

Dalam konsep autofagi justru sistem imunitas tidak diperkuat. Dalam konsep autofagi sistem imunitas justru dirombak. Dalam konsep autofagi sistem imunitas diperbaharui agar lebih adaptif dengan stimulus baru.

Sistem imunitas lama harus dirombak. Sistem imunitas ini, di dalam sel akan berbentuk sebagai susunan gen ekstrakromosomal.

Gen ini akan bekerja memproduksi protein yang dibutuhkan (antibodi), saat ada stimulus yang sesuai (antigen). Jika tidak dirombak akan terjadi penumpukan gen ekstrakromosomal.

Penumpukan gen ekstrakromosomal (plasmid) dapat mengakibatkan penyatuan. Penyatuan ini akan menghasilkan aksi yang sangat berbeda dengan sebelumnya.

Yang paling sering, penyatuan ini mengakibatkan sifat agresif sel. Sifat agresif ini muncul sebagai ekpresi sifat dasar gen, survival.

Survival adalah sifat dasar mahluk hidup hingga tingkatan gen. Hal ini dengan sangat menarik dijelaskan oleh Richard Dawkins dalam bukunya yang terkenal The Selfish Gene.

Penjelasan ini semakin didukung dengan temuan adanya gen ekstrakromosomal. Gen-gen ini yang terutama memengaruhi perilaku sel.

Namun dengan pendekatan mekanisme autofagi-diabetes, perilaku ini bisa direkayasa. Caranya dengan merombak sistem imunitas lama. Sistem imunitas lama yang berwujud gen ekstrakromosom akan dicerna oleh lisosom.

Lisosom akan menjadikan gen ekstrakromosom sebagai sasaran pertama. Karena gen-gen tersebut memiliki gula (ribosa dan deoksiribosa) yang dibutuhkan sel saat kelaparan.

Makanya, untuk memicu kelaparan sel dan lisosom, insulin harus dihentikan sedangkan glukagon dilepaskan. Inilah mekanisme autofagi-diabetes.

Penghentian insulin dan pelepasan glukagon tidak hanya mengaktifkan lisosom dan peroksisom. Tapi juga mengakibatkan peningkatan glukosa darah.

Peningkatan terjadi karena glukosa tidak diperkenakan masuk ke dalam sel. Peningkatan juga terjadi akibat aktivitas peroksisom memecah lemak menjadi glukosa.

Jadi jelaslah mengapa diabetes tidak bisa disebut sebagai penyakit. Diabetes adalah bagian dari aktivitas autofagi. Aktivitas ini tidak untuk memperkuat sistem imunitas.

Aktivitas ini untuk memperbaharui sistem imunitas agar lebih adaptif. Mekanisme ini juga mencegah penggabungan gen-gen ekstrakromosom yang berpotensi menjadi kanker.

Salam, semoga menjadi inspirasi hidup sehat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau