Kedua, ihwal pengawasan obat-obatan. Melihat masih adanya penjualan obat-obatan di tempat yang tidak seharusnya, apalagi dengan ketiadaan campur tangan tenaga kesehatan, hal ini sepatutnya mulai ditertibkan secara sistemik dan tuntas.
Tujuannya tidak lain agar menghindari penyalahgunaan serta tertutupnya ruang jual – beli obat-obatan ilegal. Termasuk yang sudah kedaluwarsa. Tensi pengawasan memang harus lebih ditingkatkan.
Terakhir ketika edukasi sudah diberikan secara maksimal dan pemantauan sudah dilakukan di setiap jalur pada proses produksi – distribusi – konsumsi, harus ada tindak lanjut yang menjerakan ketika terjadinya temuan.
Apalagi temuan itu sangat membahayakan, seperti efek samping yang permanen ataupun yang berujung pada kematian.
Agaknya apakah hukuman-hukuman yang selama ini diberikan masih terlalu ringan bagi pelaku yang saat ini semakin bebas memperdagangkan obatnya? Apalagi di tengah asyiknya jual-beli online yang bergentayangan di berbagai e-commerce.
Ditambah dengan kebutuhan peningkatan imunitas masyarakat efek hadirnya pandemi Covid-19 sejak dua tahun lalu.
Ini semua menjadi momentum bagi oknum yang ingin mengeruk keuntungan dengan melakukan jual beli berbagai obat-obatan, vitamin, atau suplemen ilegal.
Sebagaimana hasil publikasi dari temuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) per Selasa (4/10), terkait peredaran Vitamin C, Vitamin D3, dan Vitamin E ilegal yang di antaranya diedarkan secara online melalui e-commerce. Ditemukan data yang sangat mengkhawatirkan.
Bayangkan saja, kurang dari setahun, tepatnya dari Oktober 2021 – Agustus 2022, BPOM berhasil menemukan 22 item produk vitamin ilegal pada 19.703 tautan/link. Tidak tanggung-tanggung, nilai keekonomian ini diperkirakan sebesar Rp 185 miliar lebih.
Sementara itu, masih pada periode yang sama juga ditemukan 41 obat tradisional yang mengandung zat kimia berbahaya. Efek samping zat tersebut juga sangat berbahaya, di antaranya kesulitan buang air kecil, gangguan hormon, gangguan pertumbuhan, dan masih banyak lagi.
Bagaimana dengan hukuman yang selama ini dihadirkan? Dalam rentang lima tahun terakhir, putusan tertinggi pengadilan pada perkara pidana terkait kasus obat tradisional dan suplemen kesehatan hanya berupa penjara selama dua tahun dan denda Rp 250 juta subsider kurungan tiga bulan.
Hadirnya kasus gagal ginjal akut pada anak yang disinyalir salah satu penyebabnya adalah dari penggunaan obat-obatan yang terkontaminasi senyawa tertentu ini haruslah dievaluasi secara menyeluruh. Tidak cukup hanya menjadikan obat sebagai ‘pihak’ yang harus bertanggung jawab.
Jika perlu, harus ada langkah investigasi yang dilakukan agar bisa menjawab pertanyaan masyarakat mengapa obat-obat yang beredar dan kemudian dikonsumsi itu kecolongan mengandung zat-zat berbahaya.
Kemudian, harus ditelusuri juga di mana titik-titik yang masih bolong sehingga dengan mudahnya obat-obat ilegal masih bisa leluasa bermunculan.
Dan mumpung kasus gagal ginjal anak ini masih menjadi salah satu titik fokus dari Kemenkes, BPOM, dan bahkan seluruh elemen bangsa. Ada baiknya juga segala bentuk investigasi dilakukan terhadap tingkat keamanan pangan.