KOMPAS.com – Kantor Staf Presiden (KSP) bersama sejumlah ahli mengusulkan untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Poin revisi yang diusulkan adalah memasukkan pelabelan informasi kandungan Bisphenol-A (BPA) pada kemasan plastik berbahan polikarbonat (PC).
Usul tersebut disampaikan dalam pertemuan antara KSP dan Center for Sustainability and Waste Management Universitas Indonesia (CSWM UI) di Jakarta, Senin (13/3/2023).
Sebagai informasi, sejumlah ahli yang hadir pada pertemuan itu terdiri dari perwakilan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI), Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI), serta Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).
Staf Khusus (Stafsus) Kedeputian 2 KSP Brian Sriprahastuti mengatakan bahwa pihaknya tengah menyusun draf revisi PP tersebut sejak 2018. Namun, penyusunan revisi belum rampung karena harus melibatkan berbagai sektor terkait.
“PP itu tidak hanya menyangkut masalah kesehatan, tetapi juga sektor perdagangan yang berada di bawah pengawasan Kementerian Perdagangan (Kemendag),” ujar Brian dikutip Kompas.com dari keterangan tertulis, Kamis (8/6/2023).
Baca juga: Angka Kematian Akibat Kanker Payudara Tinggi, BPA Disebut Jadi Pemicu
Menurut dia, pelabelan informasi pangan pada kemasan produk masih sebatas pencantuman kandungan gizi. PP belum mengatur pencantuman kandungan substansi, termasuk BPA.
BPA sendiri kerap ditemukan pada kemasan air minum dalam kemasan (AMDK), misalnya galon guna ulang dan botol plastik.
Pada kondisi tertentu, BPA dapat bermigrasi dari kemasan ke air minum di dalamnya. Hal ini berpotensi membahayakan kesehatan, terutama bagi ibu hamil dan anak.
Pada pertemuan itu, Kepala CSWM UI Mochamad Chalid menekankan bahwa pelabelan informasi BPA dalam kemasan merupakan hal yang mendesak.
“Masyarakat tak lepas dari penggunaan galon (guna ulang) dan botol plastik. Oleh sebab itu, perlu ada aturan tentang standar umur pakai dan penggunaan kemasan. Penggunaan bahan PC (dalam kemasan makanan dan minuman) juga perlu ditinjau ulang,” jelas Chalid.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CSWM UI, penggunaan kemasan air minum, terutama galon guna ulang berbahan PC yang mengandung BPA, tidak hanya dilakukan oleh produsen AMDK bermerek, tetapi juga pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) penyedia air isi ulang tidak bermerek.
“Kami menemukan penggunaan kemasan galon berbahan PC pada AMDK tidak bermerek berbasis UMKM di beberapa daerah di Sumatera Barat, seperti Padang, Batusangkar, Padang Pariaman, dan Payakumbuh,” ujar Chalid.
Oleh karena itu, Chalid menggarisbawahi urgensi pelabelan kandungan BPA sebagai bagian perlindungan konsumen AMDK hingga ke daerah-daerah. Sebab, konsumsi AMDK sudah menjadi kebutuhan masyarakat secara umum, terlebih ketersediaan air bersih yang berasal dari sumber alami semakin terbatas. Ia juga menekankan urgensi kajian dalam aspek teknis dan ekonomi pada kemasan plastik.
Baca juga: Tren Gaya Hidup Sehat Meningkat, Galon AMDK BPA Free Semakin Dilirik
Menurutnya, salah satu cara untuk mencegah migrasi substansi berbahaya ke dalam tubuh manusia melalui kemasan adalah dengan mengatur desain, standar umur pakai, serta standar penggunaan bahan kemasan.
“Produsen sebaiknya melakukan inovasi untuk memproduksi galon yang aman dan sehat untuk kemasan AMDK,” kata Chalid.
Dia mencontohkan, beberapa inovasi yang bisa dilakukan adalah penerapan metode post-consumer resin (PCR), yaitu pendaurulangan kemasan plastik dengan mencacah galon menjadi resin plastik.
Selanjutnya, resin itu dicampur dengan resin baru yang belum pernah digunakan dengan komposisi tertentu. Campuran ini dapat dibentuk menjadi kemasan baru.
Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Tidak Menular PB IDI Agustina Puspitasari juga menyampaikan pandangan serupa.
Menurutnya, paparan BPA dapat memengaruhi fisiologi yang dikendalikan hormon endokrin. Selain itu, BPA juga dapat mengganggu perkembangan otak pada janin yang sedang dikandung, serta meningkatkan risiko hipertensi, diabetes tipe 2, dan penyakit kardiovaskular.
“Sudah banyak studi yang menjelaskan bahwa konsentrasi BPA di dalam urine berhubungan dengan penurunan kualitas sperma. Kemudian, paparan BPA selama prenatal pada perempuan hamil juga berhubungan dengan perilaku agresif dan hiperaktif anak, terutama pada anak perempuan,” jelas Agustina.
Dia menambahkan, sejumlah negara semakin mengawasi penggunaan BPA pada kemasan makanan dan minuman, termasuk AMDK.
Kanada, misalnya, telah mengklasifikasikan BPA sebagai zat beracun dan menetapkan larangan terbatas penggunaan BPA.
Selain itu, Uni Eropa (UE) juga mengeluarkan larangan penggunaan bahan yang mengandung BPA untuk botol susu bayi pada 2011.
“Negara bagian California, Amerika Serikat, juga mewajibkan produsen untuk memberi label pada kemasan. Label ini menginformasikan bahwa produk itu mengandung BPA yang berpotensi menyebabkan kanker serta gangguan kehamilan dan sistem reproduksi,” ujar Agustina.
Dia melanjutkan, negara lain, seperti Denmark, Austria, Swedia, dan Malaysia, juga telah melarang penggunaan BPA pada kemasan kotak pangan untuk konsumen yang berada pada usia rentan, yakni mulai 0 sampai 3 tahun.
Baca juga: Demi Kesehatan Jangka Panjang, Industri AMDK Perlahan Beralih ke Kemasan PET
Berkaca pada hal itu, Agustina mengatakan bahwa PB IDI mendorong upaya pelabelan kandungan BPA pada kemasan produk yang akan dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
“Kami juga mendukung upaya edukasi konsumen agar mereka mengetahui upaya pencegahan migrasi BPA ke dalam tubuh, misalnya dengan tidak menyimpan kemasan di bawah suhu tinggi pada waktu lama, serta tidak menggosok atau menyikat permukaan kemasan,” tutur dia.
Sementara itu, saat mengisi acara diskusi ringan di Bogor, Senin (22/5/2023), Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional Slamet Riyadi juga mengajak pengusaha untuk menaati seluruh peraturan tentang label pangan.
“Peraturan tersebut, baik yang dikeluarkan oleh BPOM, Kemendag, maupun pemerintah, termasuk Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya dalam Pasal 4, berkaitan dengan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen,” imbuh Slamet.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.