KOMPAS.com - Pernahkah Anda mendengar istilah asfiksia? Asfiksia adalah kondisi saat tubuh manusia tidak mendapatkan cukup oksigen.
Kekurangan oksigen pada orang yang mengalami asfiksia tak hanya memicu sesak napas. Dalam kasus yang parah, asfiksia bisa mengakibatkan seseorang mengalami penurunan kesadaran hingga kematian.
Untuk mengetahui bagaimana asfiksia memengaruhi tubuh, simak penjelasan berikut.
Baca juga: Apa itu Asfiksia? Kenali Gejala dan Jenisnya Berikut
Seseorang memerlukan oksigen yang cukup untuk bisa bernapas dengan normal.
Saat bernapas, oksigen akan masuk melalui hidung, kemudian melalui batang tenggorokan (trakea), lalu masuk ke paru-paru melalui bronkus dan bronkiolus.
Di dalam paru-paru atau tepatnya di alevoulus, terjadi pertukaran antara oksigen dengan karbon dioksida yang keluar saat seseorang menghembuskan napas.
Sementara, oksigen yang dihirup akan masuk ke dalam darah, kemudian disebarkan ke seluruh organ dan jaringan tubuh, termasuk otak.
Ketika seseorang mengalami asfiksia, otak tidak mendapatkan cukup oksigen, sehingga terjadi penurunan kesadaran dalam hitungan menit.
Apabila dibiarkan, kondisi tersebut dapat memicu kerusakan otak permanen hingga mengancam jiwa atau kematian.
Jika benda asing menghalangi jalan napas, tubuh tidak dapat mengeluarkan karbon dioksida.
Hal ini akan membuat oksigen tidak dapat mencapai jaringan di tubuh. Kondisi ini mengakibatkan kadar oksigen di dalam jaringan tubuh menurun atau dikenal dengan istilah hipoksia.
Setelah itu, tubuh secara refleks berusaha bernapas kembali demi mendapat oksigen yang cukup.
Pada kondisi ini, seseorang bisa mengalami perubahan fisik, seperti mata melotot, perubahan warna kulit, hingga batuk-batuk karena kesulitan bernapas.
Hal ini mengakibatkan kenaikan tekanan darah dan detak jantung, sementara pH darah akan turun dan memicu pelepasan hormon katekolamin.
Katekolamin adalah hormon yang berperan penting dalam respons "fight or flight". Hal ini membuat tekanan darah Anda turun, dan jantung Anda melambat.