Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Ade Iva Murty, Msi
Dean Faculty of Arts and Science, Sampoerna University

Dean Faculty of Arts and Science, Sampoerna University

Tantangan Indonesia Emas 2045: Menciptakan Generasi Sehat Mental

Kompas.com - 23/03/2024, 15:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

INDONESIA Emas 2045 adalah cita-cita bersama seluruh komponen Bangsa Indonesia, idealisme yang kita bangun di atas landasan integritas, kerja keras dan komitmen kuat untuk menjadikan masyarakat sejahtera dan sejajar kedudukannya dengan bangsa maju lain di dunia.

Visi lengkap Indonesia Emas 2045 adalah Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan.

Pas 100 tahun setelah Indonesia merdeka, memang saatnya mencapai kemajuan dan hasil-hasil pembangunan berkelanjutan bagi generasi mendatang.

Dari 8 agenda (misi) pembangunan 2045, modal dasarnya adalah jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar.

Jumlah ini dapat bermakna peluang kemajuan, namun pada saat yang sama bisa berubah menjadi jebakan dan ancaman.

Dalam mewujudkan Negara Nusantara Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan, sangat penting untuk menyusun langkah strategis terkait sasaran pembangunan “meningkatkan daya saing sumber daya manusia”.

Sasarannya adalah meningkatkan Human Capital Index hingga mencapai nilai 0,73 di tahun 2045. Dengan nilai HCI yang semakin mendekati 1 itu, maka diharapkan seluruh warga negara Indonesia memiliki kemungkinan besar untuk merealisasikan potensinya secara maksimum.

Sasaran peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak hanya bergantung dari bidang kesehatan dan pendidikan.

Ada satu faktor penting yang sering dilupakan, yaitu faktor kesehatan mental yang merupakan modal dan karakter utama menjadi landasan pembentukan kualitas sumber daya manusia.

Menurut WHO, kesehatan mental adalah keadaan sejahtera mental yang memungkinkan seseorang mengatasi tekanan hidup, menyadari kemampuannya, belajar dengan baik dan bekerja dengan baik, serta berkontribusi pada komunitasnya.

Apa yang harus dipersiapkan untuk menyongsong Generasi Emas 2045 yang sehat mentalnya?

Pertama, dengan berbagai jenis gangguan kesehatan mental yang sering ditemui, maka di seluruh dunia, setiap tahunnya ekonomi global menanggung biaya 1 triliun dollar AS untuk mengobati masalah gangguan mental.

Belum terhitung terjadinya kehilangan produktivitas di semua tingkatan usia.

Meskipun dunia kedokteran dan psikologi telah banyak menemukan cara pengobatan dan perawatan modern bagi gangguan mental, tetap saja biaya yang ditanggung tidak menurun dan penyebaran pengobatan masih belum merata ke seluruh penjuru dunia (Lancet, 2020).

Catatan ini perlu menjadi perhatian serius untuk strategi pencapaian Indonesia Emas 2045.

Berdasarkan laporan dari World Population Review, 9 juta penduduk Indonesia atau 3,7 persen dari populasi, menderita depresi. Bahkan setiap jam, seseorang di Indonesia melakukan bunuh diri.

Selain itu, 3,4 kasus bunuh diri per 100.000 orang di Indonesia telah dilaporkan oleh lembaga tersebut.

Sementara itu, laporan dari organisasi nirlaba Our Better World yang mengutip dari data Kementerian Kesehatan RI juga menunjukkan bahwa 16 juta orang (6 persen) berusia 15 tahun ke atas telah menunjukkan gejala kecemasan atau depresi, dan sekitar 400.000 orang (1,72 persen) hidup dengan penyakit yang lebih parah seperti psikosis.

Sekitar 19 persen remaja Indonesia pernah mempunyai pikiran untuk bunuh diri, dan 45 persen di antaranya mengaku melakukan tindakan menyakiti diri sendiri.

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia (sekitar 270 juta orang), namun hanya memiliki sekitar 800 psikiater (0,3 psikiater per 100.000), 450 psikolog, dan 48 fasilitas kesehatan mental. Di sini terdapat celah yang bisa menghamat terbentuknya generasi unggul pada 2045.

Kedua, aspek pencegahan menentukan sejauh mana tingkat kedalaman persoalan gangguan kesehatan mental akan menjadi masalah yang menuntut penyelesaian secara holistik dan mendasar.

Pencegahan terhadap prevalensi gangguan kesehatan mental harus melibatkan seluruh masyarakat, khususnya institusi-institusi yang memang berhubungan langsung dengan masyarakat, misalnya sekolah, universitas, kantor pelayanan pemerintah, rumah ibadah, termasuk media massa.

Pada unit terkecil, yaitu keluarga, kesehatan mental dapat ditanamkan melalui berbagai intervensi sosial dan budaya yang akan menjadikan keluarga sebagai tempat kembali yang nyaman, memberdayakan dan membantu individu merealisasikan potensinya seoptimal mungkin.

Persoalannya adalah, kesehatan mental di Indonesia yang dipublikasikan dalam jurnal Global Health Neurology and Psychiatry (JoGHNP) menghadapi tantangan besar berupa rendahnya ketersediaan tenaga profesional, rendahnya pendanaan, dan tingginya kesenjangan pengobatan.

Di daerah pedesaan dan pinggiran kota, kurangnya pengetahuan, stigma, dan sulitnya akses terhadap layanan kesehatan mental menyebabkan terjadinya pengurungan dan pengurungan kembali.

Di sisi lain, kaum muda di perkotaan mengalami peningkatan tingkat gangguan mental yang umum, seperti depresi dan kecemasan, yang dipercepat oleh pandemi dan lebih mengkhawatirkan kesehatan mental mereka.

Ketiga, WHO menyatakan bahwa gangguan kesehatan mental yang paling sering muncul di tengah keluarga dan masyarakat adalah anxiety dan depression.

Anxiety merupakan kecemasan yang membahayakan, berbeda dari kecemasan biasa. Kecemasan intensif dan berlebihan sehingga mengganggu fisiologis seseorang, menurunkan tingkat produktivitas kerja dan belajar.

Menjadikan seseorang terhambat dalam mencapai target-target yang telah ditetapkan sebelumnya.

Depresi merupakan gangguan kesehatan mental dan fisik yang memengaruhi bagaimana orang berpikir, merasa dan bertindak, sehingga menurunkan ketertarikan seseorang terhadap aktivitas dan terjadi berlarut-larut selama beberapa hari hingga berbulan-bulan.

Penelitian kolaborasi antara Universitas Gadjah Mada (UGM), University of Queensland (UQ) di Australia, Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health (JHSPH) di Amerika Serikat, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes), Universitas Sumatera Utara (USU) dan Universitas Hasanuddin (Unhas) menunjukkan bahwa gangguan jiwa yang paling banyak diderita remaja adalah gangguan kecemasan (gabungan antara fobia sosial dan gangguan kecemasan umum) sebesar 3,7 persen, disusul gangguan depresi mayor (1 persen), gangguan perilaku (0,9 persen), serta PTSD dan ADHD (keduanya 0,5 persen).

Intinya, untuk mencapai Indonesia Emas 2045, bangsa Indonesia tidak dapat mengabaikan potensi terjadinya gangguan kesehatan mental dalam berbagai bentuknya.

Indonesia Emas 2045 hanya dapat dicapai dan dipertahankan oleh sumber daya manusia Indonesia yang secara fisik kuat serta dalam kategori kesehatan mental, merupakan individu yang mampu melakukan coping dengan positif dan sehat, terhadap semua tantangan kehidupan.

Masalah dan tekanan-tekanan akan tetap ada dalam kehidupan seseorang, tidak ada suatu masyarakat pun di dunia ini yang individu-individunya betul-betul terbebas 100 persen gangguan penyakit mental.

Oleh karena itu, sistem kesehatan nasional, pendidikan dan keluarga merupakan benteng terdepan dalam menjamin bahwa di masa Indonesia Emas 2045, bangsa ini mampu mengendalikan masalah-masalah gangguan kesehatan mental dan memberikan jalan atau solusi yang secara terang benderang akan membantu setiap insan Indonesia mencapai kesehatan mental yang prima.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau