Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr Kurniasih Mufidayati
Anggota DPR-RI

Ketua Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Anggota DPR RI dan dosen.

Menguji Implementasi Strategi Nasional Pengendalian Dengue

Kompas.com - 01/06/2024, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HAMPIR luput dari perhatian karena hiruk-pikuk politik dan pemilu, ternyata Indonesia mengalami wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam kategori yang tidak biasa pada 2024 ini.

Sejak awal tahun, jumlah kasus DPD terus menunjukkan peningkatan yang cepat dan korban jiwa terus berjatuhan. Beberapa daerah bahkan sudah menunjukkan situasi yang bisa dibilang darurat DBD.

Namun, sejauh ini belum ada penanganan yang betul-betul mengerahkan semua sumber daya untuk bisa mengendalikan wabah DBD.

Secara nasional, kasus DBD di tahun 2024 menunjukkan lonjakan yang sangat besar. Sampai April atau pekan ke-17 tahun 2024, sudah terdapat 88.593 kasus DBD di seluruh Indonesia.

Padahal pada periode yang sama tahun 2023 hanya terdapat 28.579 kasus. Artinya peningkatan kasus DBD ini sudah lebih dari 300 persen dibanding tahun lalu.

Demikian juga dengan korban meninggal dunia atau fatality rate akibat DBD yang sampai pekan ke-17 tahun 2024 sudah terdapat 621 kasus kematian. Padahal, pada periode yang sama tahun 2023, hanya terdapat 209 kasus kematian.

Lonjakan kasus DBD tahun ini juga didorong terjadinya El Nino yang melanda Indonesia saat ini. Krisis iklim membuat penyebaran nyamuk DBD lebih luas dan bertahan lebih lama.

Wabah DBD kali ini juga tidak bisa dianggap biasa seperti tahun-tahun sebelumnya dan sangat mungkin pola ini juga akan berlanjut ke depan.

Tingkat kematian dalam wabah DBD terbilang tinggi, bahkan tiga kali lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.

Dari sisi gejala yang ditimbulkan juga terjadi perbedaan dibandingkan dengan gejala DBD pada saat sebelum Covid-19.

Berdasarkan beberapa laporan yang masuk ke kalangan medis, perubahan reaksi imunologi yang terjadi pada tubuh seseorang yang pernah terinfeksi Covid-19.

Gejala klinis berupa bintik-bintik merah tidak ditemukan lagi atau tersembunyi, sehingga menyulitkan deteksi. Orang bisa demam selama tiga hari dan langsung masuk dalam kondisi syok tanpa ada gejala pendarahan.

Tidak adanya gejala klasik seperti bintik merah dan mimisan ketika angka trombosit sudah rendah, bahkan di bawah 100, menjadi kekhawatiran baru.

Covid-19 yang pernah dialami oleh seseorang akan berdampak pada sistem imunitas orang tersebut. Akibatnya orang tersebut menjadi rentan terhadap infeksi virus dari luar, termasuk reaksi tubuh yang berbeda pada orang tersebut.

Perubahan gejala ini, menurut Dicky Budiman, ahli epidemologi dari Griffith University terutama ditemukan pada daerah dengan tingkat kasus DBD tinggi.

Pada pasien yang mengalami gejala "long Covid-19", mereka yang pernah terpapar virus lebih dari dua kali, dan kelompok belum divaksinasi cenderung berisiko mengalami perubahan gejala tersebut.

Perubahan gejala DBD dikhawatirkan membuat sejumlah dokter atau tenaga kesehatan tidak lagi mengenali infeksi yang kemudian menghambat pengobatan pasien karena berujung salah diagnosis.

Perlu alat deteksi dan screening yang lebih sensitif untuk mengidentifikasi gejala yang muncul yang seharusnya bisa disediakan oleh pemerintah.

Dampak wabah DBD pada sistem kesehatan dan beban biaya

Memperhatikan fenomena wabah DBD setahun terakhir ini, maka perlu perhatian lebih besar dalam pengendalian wabah DBD.

Wabah yang terjadi pascapandemi covid-19 diindikasikan memiliki keterkaitan dengan infeksi Covid-19 yang pernah dialami seseorang.

Sehingga akibat yang ditimbulkan juga lebih besar dengan ancaman fatality rate lebih tinggi. Ditambah dengan fenomena cuaca, maka ancaman dari DBD bukan hanya pada kasus yang semakin tinggi, namun juga dampak yang semakin besar.

Padahal wabah DBD sudah menimbulkan beban bagi sistem kesehatan masyarakat.

Lonjakan kasus DBD yang terjadi pada 2024 di Indonesia telah membuat sejumlah rumah sakit mengalami lonjakan okupansi terutama dari pasien anak-anak.

RSUD Kota Bogor, misalnya, telah menangani 259 pasien DBD anak sejak awal tahun dengan keterisian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) mencapai 96 persen sehingga hanya sedikit tersisa untuk pasien anak lain.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau