Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rifda Naufalin
Dosen

Prof. Dr. Rifda Naufalin, S.P., M.Si. Lahir di Kudus pada 1970. Pendidikan kesarjanaan diselesaikan di Fakultas Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman. Berkesempatan studi S2 di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bidang Ilmu Pangan. Gelar Doktor diperoleh dari Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (2002-2005) bidang Ilmu Pangan. Bekerja sebagai staff pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto sejak tahun 1995 hingga sekarang. Mengajar beberapa mata kuliah, yakni Kimia Pangan, Mikrobiologi Dasar, Mikrobiologi Pangan, Analisis Pangan, dan Manajemen Mutu Keamanan Pangan.

Menyongsong Program Makan Bergizi Gratis dengan Pangan Alternatif

Kompas.com - 05/06/2024, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PROGRAM makan siang gratis, yang menjadi salah satu program unggulan dari pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang memenangkan Pilpres 2024, telah mengalami perubahan nama menjadi makan bergizi gratis.

Presiden terpilih, Prabowo Subianto, menggolongkan masalah kekurangan gizi dan stunting anak-anak Indonesia sebagai salah satu yang mendesak.

Dia percaya bahwa mengubah fokus program menjadi makan bergizi gratis akan memberikan manfaat besar, termasuk memastikan setiap siswa mendapatkan setidaknya satu kali makanan bergizi dalam sehari.

Selain penting untuk perkembangan kognitif dan kesehatan anak-anak, program ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi siswa dalam pendidikan dan mengurangi kesenjangan sosial.

Namun, implementasi program ini dihadang tantangan dalam menyediakan bahan makanan yang cukup.

Suhandri, Ketua Asosiasi Importir Daging Indonesia (Aspidi), menyatakan kesiapannya untuk menyuplai daging sapi untuk program ini.

Selain itu, Indonesia telah lama bergantung pada impor susu, dengan produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi sebagian kecil dari kebutuhan nasional.

Menurut data BPS, produksi susu sapi perah lokal hanya mampu mencukupi kebutuhan sekitar 20 persen saja dari kebutuhan 4,4 juta ton susu dalam setahun.

Sebagian besar impor susu didatangkan dari Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sedangkan produksi susu di Indonesia masih didominasi usaha peternakan sapi perah rakyat.

Ketergantungan terhadap impor daging sapi juga terus meningkat, karena pertumbuhan populasi sapi potong lokal yang lambat dan produksi rendah.

Meningkatnya permintaan akan susu dan daging sapi, ada kekhawatiran bahwa ketergantungan terhadap impor akan semakin bertambah.

Ada kekhawatiran bahwa impor akan mendominasi pemenuhan kebutuhan daging nasional, meninggalkan produsen atau peternak sapi dalam negeri mengalami kerugian.

Menurut Budiman Sudjatmiko dari Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, program makan siang gratis membutuhkan jumlah beras, daging ayam, daging ikan, daging sapi, dan susu sapi yang sangat besar setiap tahunnya.

Program makan siang gratis akan membutuhkan 6,7 juta ton beras dan 1,2 juta ton daging ayam setiap tahunnya. Selain itu, juga akan dibutuhkan 1 juta ton daging ikan, 500.000 ton daging sapi, hingga 4 juta kiloliter (kL) susu sapi.

Mengingat tingginya permintaan ini dan ketersediaan yang terbatas, alternatif pengganti susu sapi dan daging sapi menjadi penting.

Salah satu solusi yang positif adalah program makan gratis dengan pangan alternatif berbasis tanaman, yang tidak hanya mendukung kesehatan, tetapi juga keberlanjutan dan kelestarian lingkungan.

Pengembangan bahan dasar tanaman untuk membuat susu nabati adalah solusi menarik. Susu nabati, yang sering disebut oleh masyarakat, memiliki kandungan gizi yang hampir sama dengan susu hewani dan bisa menjadi alternatif bagi orang-orang yang intoleran terhadap laktosa atau alergi terhadap susu sapi.

Kandungan gizi seperti vitamin E, vitamin B, antioksidan, fosfor, dan isoflavon membuat susu nabati sangat berguna untuk berbagai kalangan usia, termasuk bayi, anak-anak, ibu hamil, dan ibu menyusui.

Susu nabati, seperti susu kedelai dan susu kacang hijau, juga memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan susu hewani. Produksi kacang hijau di Indonesia cukup tinggi, sehingga susu kacang hijau bisa menjadi alternatif menarik.

Data Kementerian Pertanian, ekspor kacang hijau dari Indonesia telah meningkat signifikan, menunjukkan potensi besar untuk dikembangkan lebih lanjut.

Pada tahun 2022 melakukan ekspor kacang hijau secara total sebesar 16.000 ton dengan nilai Rp 314,9 miliar dan pada tahun 2023 per bulan Agustus, sebesar 11.000 ton dengan nilai Rp 211 miliar.

Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan, Suwandi mengatakan, luas tanam kacang hijau rata-rata setahun sebesar 140.000 hektare dengan produksi 230.000 ton.

Umur panen kacang hijau adalah 2 bulan dengan provitas 1,5 ton per hektare. Biaya produksi relatif murah Rp 2 juta sampai Rp 5 juta per hektare, sebagai selingan setelah tanam padi di saat musim kering dengan harga jual di petani Rp 15.000 per kilogram.

Selain mencari alternatif susu sapi, penting juga untuk menemukan alternatif daging dalam rangka mendukung program makan siang gratis.

Selain daging sapi, program bisa memasukkan sumber protein nabati seperti tempe, tahu, kacang-kacangan, dan biji-bijian.

Langkah ini tidak hanya bertujuan mengurangi ketergantungan pada daging sapi, tetapi juga memberikan opsi protein yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Inovasi dalam pengolahan makanan seperti tempe, tahu, dan produk nabati lainnya bisa menjadi kunci untuk meningkatkan minat masyarakat terhadap alternatif daging tersebut.

Saat ini, Indonesia memiliki sekitar 81.000 usaha pembuatan tempe yang menghasilkan sekitar 2,4 juta ton tempe setiap tahunnya, menciptakan nilai tambah signifikan untuk industri tempe.

Penggunaan tempe dalam program makan siang gratis tidak hanya memberikan manfaat langsung bagi penerima manfaat program, tetapi juga berpotensi memberikan dampak positif besar pada industri tempe di Indonesia.

Peningkatan permintaan akan kedelai sebagai bahan baku untuk tempe juga bisa memberikan dampak positif pada para petani kedelai, meningkatkan produksi dan pendapatan mereka, serta mendukung pertumbuhan ekonomi di daerah pedesaan.

Program makan gratis memiliki potensi besar untuk memberikan dampak positif pada pendidikan, kesehatan, dan kesetaraan.

Namun, keberhasilannya akan bergantung pada perencanaan yang teliti, tanggung jawab fiskal, dan pelaksanaan yang efektif. Langkah-langkah ini diperlukan agar program ini bisa memberikan manfaat maksimal.

Meskipun menghadapi tantangan dalam penyediaan bahan makanan, termasuk ketergantungan terhadap impor susu dan daging sapi, langkah untuk menggunakan alternatif nabati menunjukkan langkah yang bijak dan berkelanjutan.

Susu nabati seperti susu kedelai dan susu kacang hijau, serta sumber protein nabati lainnya seperti tempe dan tahu, dapat menjadi solusi yang efektif.

Namun, diperlukan perencanaan cermat dan tanggung jawab fiskal yang kuat untuk memastikan keberlangsungan dan efektivitas program ini dalam memberikan dampak positif pada pendidikan, kesehatan, dan kesetaraan di Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau