Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Noerolandra Dwi S
Surveior FKTP Kemenkes

Menyelesaikan pascasarjana FKM Unair program studi magister manajemen pelayanan kesehatan. Pernah menjadi ASN di Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban bidang pengendalian dan pencegahan penyakit. Sekarang menjadi dosen di Stikes NU di Tuban, dan menjalani peran sebagai surveior FKTP Kemenkes

Kemiskinan dan TBC

Kompas.com - 20/06/2024, 14:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Upaya pemerintah dan negara dalam memberantas kemiskinan perlu terus didukung semua kalangan masyarakat. Kemiskinan tidak bisa ditanggulangi secara sendirian, demikian pula dampak penyakit yang ditimbulkan perlu sinergitas banyak pihak.

Kemiskinan menjadi faktor risiko yang kuat menyebabkan penyebaran penyakit TBC di masyarakat.

Kerentanan kronis dan kemiskinan membuat penyakit TBC mudah menyebar di masyarakat dan menimbulkan dampak buruk. Beberapa ahli juga menyebut pengaruh angka penyakit TBC dengan kemiskinan.

Berangkat dari asumsi World Bank (2012) bahwa penyebab kemiskinan, yaitu tidak tersedianya aset dasar kehidupan berupa kesehatan dan keterampilan/pengetahuan.

Buruknya kesehatan berdampak pada tingginya mortalitas dan morbiditas yang memengaruhi kuantitas dan kualitas tenaga kerja dan waktu kerja.

Demikianlah kemiskinan dan angka penyakit saling berpengaruh yang boleh jadi tidak diketahui kondisi yang lebih dulu terjadi.

Dalam hal ini kasus penderita TBC di Indonesia terus saja dilaporkan dan menimbulkan kematian yang signifikan. Kemenkes menyatakan tahun 2023 ditemukan 821.200 kasus dari estimasi sekitar 1.060.000 kasus.

Dengan kematian lebih 130.000 tiap tahun telah menempatkan Indonesia peringkat kedua dunia setelah India. Indonesia merupakan negara high burden TBC dan menjadi satu di antara delapan negara menyumbang 68 persen kasus TBC di dunia.

Tantangan yang terus terjadi di Tanah Air, yaitu soal penemuan penderita TBC secara dini, waktu mulai pengobatan, akses pengawasan penderita minum obat, kemungkinan putus berobat, dan mutu pelayanan kesehatan.

Sedang menurut BPJS Kesehatan, hal yang perlu mendapat perhatian meliputi pengawasan yang efektif, percepatan identifikasi kasus, memastikan staf dan fasilitas laboratorium yang memadai, keterlibatan praktisi swasta, dan koordinasi yang efektif di antara penyedia layanan kesehatan (April, 2023).

Pemerintah dan pemangku kepentingan penyakit TBC harus bergerak cepat apabila target eliminasi TBC tahun 2030 ingin tercapai.

Hal ini tentu bukan menjadi tugas bidang kesehatan saja, sektor lain dan tokoh masyarakat harus menjalin kerja sama. Jika ditangani sektor kesehatan sendirian, maka penyakit TBC tidak dapat dituntaskan sampai kapanpun.

Penelitian menunjukkan determinan sosial penyakit TBC yang tidak bisa diabaikan dalam pemberantasan penyakit TBC di Indonesia.

Determinan sosial penyakit TBC (Alfi Nurjannah dkk, 2022) terdiri atas Education Access and Quality (Akses dan Kualitas Pendidikan), Health Care and Quality (Pelayanan Kesehatan dan Kualitasnya), Neighborhood and Built Environment (Lingkungan), Social and Community Context (Kontek Sosial dan Masyarakat), dan Economic Stability (Stabilitas Ekonomi).

Hasilnya determinan yang diteliti berpengaruh terhadap pelayanan penyakit TBC. Semakin baik dan memenuhi syarat kondisi determinan terjadi dan tersedia maka upaya mencari pelayanan pengobatan TBC, ketersediaan fasilitas pelayanan TBC, dan keberhasilan pengobatan akan meningkat.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau