Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Noerolandra Dwi S
Surveior FKTP Kemenkes

Menyelesaikan pascasarjana FKM Unair program studi magister manajemen pelayanan kesehatan. Pernah menjadi ASN di Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban bidang pengendalian dan pencegahan penyakit. Sekarang menjadi dosen di Stikes NU di Tuban, dan menjalani peran sebagai surveior FKTP Kemenkes

Sengkarut Mahalnya Harga Obat

Kompas.com - 23/07/2024, 06:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketidakpahaman pasien dan masyarakat terhadap kualitas obat telah membuat harga obat tidak terkontrol.

Orang akan membayar harga obat yang diresepkan dokter. Pasien tidak paham pada saat dokter meresepkan obat, apakah obat paten, generik atau hanya sekadar generik bermerek.

Pemahaman masyarakat yang masih rendah, 90 persen bahan baku masih impor, rantai distribusi panjang membuat harga obat menjadi mahal dan menjadi faktor yang membuat akses obat berkualitas sulit terjangkau.

Dalam era JKN berbagai upaya kendali mutu dan kendali biaya sebetulnya telah dijalankan pemerintah.

Ditetapkanlah Formularium Nasional (Fornas) dan mekanisme pembelanjaan obat melalui E-catalogue. Fornas merupakan daftar obat yang ditetapkan oleh Menkes yang berkhasiat, aman dan harga terjangkau.

Sedangkan E-catalogue adalah mekanisme pembelian obat melalui aplikasi e-purchasing sebagai upaya mengendalikan harga obat yang ditetapkan Fornas.

Fasyankes dapat melaksanakan belanja obat secara langsung dengan mudah dan transparan tanpa melakukan proses lelang yang berpotensi korupsi dan menjadi mahal.

Yang perlu mendapat perhatian adalah implementasi Fornas dan E-catalogue yang telah ditetapkan. Masih banyak ditemukan masalah dalam implementasi.

Ketidaksesuaian obat di Fornas dengan yang tayang di E-catalogue, perbedaan obat di Fornas dengan Panduan Praktik Klinik, keterlambatan proses tayang obat di E-catalogue, serta kelemahan yang ditemukan pada aplikasi E-catalogue adalah serangkaian masalah yang terjadi selama ini.

Menjadi kenyataan bahwa harga obat mengacu mekanisme pasar yang mengakibatkan perbedaan harga siginifikan untuk obat generik, generik bermerek dan obat paten.

Jumlah perusahaan farmasi 241 perusahaan dengan jumlah distributor/pedagang besar farmasi sebanyak 2.087.

Terdapat persaingan yang cukup ketat antarpenyedia obat dan adanya persaingan tidak sehat. Mekanisme kerja sama dengan fasyankes dan dokter membutuhkan biaya yang membuat harga obat akhirnya menjadi mahal.

Sesuai dengan UU No 17 tahun 2023 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa pemerintah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus tersedia bagi kepentingan masyarakat.

Juga UU No 40 tahun 2004 dan Perpres No 82 tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan bahwa pelayanan obat berpedoman pada daftar obat yang ditetapkan oleh menteri (Fornas).

Yang diungkap Menkes baru-baru ini tentang harga obat di Indonesia mahal, dan kemudian dicarikan solusinya bersama Menperin, Menkeu dan Menko Marves merupakan upaya pemerintah mutakhir yang dilakukan untuk membuat harga obat di Indonesia lebih murah dan terjangkau.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau