Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencari Model Ideal Pembagian Makan Bergizi Gratis

Kompas.com - 30/09/2024, 10:30 WIB
Lusia Kus Anna

Penulis

KOMPAS.com - Program makan bergizi gratis di sekolah menjadi program unggulan presiden terpilih Probowo dan wakilnya Gibran. Tujuan dari program ini adalah melahirkan generasi muda emas yang sehat dan unggul.

Jika terlaksana dengan baik, program makan bergizi gratis diharapkan dapat menurunkan sejumlah masalah gizi yang masih dihadapi di Indonesia seperti anemia pada remaja dan ibu hamil, gizi kurang, hingga stunting pada anak.

World Food Program mencatat bahwa 22.9 juta penduduk Indonesia menghadapi kendala dalam memenuhi kebutuhan gizi mereka.

Program makan bergizi gratis sendiri sudah dilakukan di banyak negara, misalnya China, Australia, hingga Brazil. Jepang juga sudah lebih dari 100 tahun menjadikan sekolah sebagai salah satu sarana pemenuhan gizi anak.

Ahli dari Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Universitas Indonesia (PKGK UI) Prof.Sandra Fikawati mengatakan, program makan bergizi gratis harus berfokus pada tujuan pemenuhan gizi anak.

"Diharapkan nantinya asupan gizi anak akan meningkat. Karena itu menunya jangan membosankan, jumlahnya sesuai porsi anak, dan juga waktu pemberiannya tepat. Sehingga diharapkan anak-anak lebih sehat, kemudian tumbuh jadi remaja yang sehat agar kelak menjadi calon ibu yang juga sehat," papar Prof.Fika.

Baca juga: Asal Mula Susu Ikan yang Diusulkan di Program Makan Bergizi Gratis

Untuk memenuhi tujuan tersebut, menu makan dalam program tersebut bukan sekadar mengenyangkan tapi harus memenuhi kecukupan gizi, antara lain mengandung protein nabati dan hewani, atau produk susu, sayur mayur, dan juga buah.

“Dari observasi lapangan, kami menemukan bahwa konsumsi protein hewani masih relatif rendah, kecuali telur. Selain itu, sebanyak 63 persen siswa tidak terbiasa membawa bekal," paparnya.

Studi perbandingan model pemberian makan bergizi gratis pada siswa SD yang dilakukan oleh PT Japfa Comfeed Indonesia, Yayasan Edufarmers bersama Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan, Universitas Indonesia.Dok Japfa Studi perbandingan model pemberian makan bergizi gratis pada siswa SD yang dilakukan oleh PT Japfa Comfeed Indonesia, Yayasan Edufarmers bersama Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan, Universitas Indonesia.

WHO tahun 2021 sudah menyatakan bahwa daging, unggas, ikan atau telur harus dimakan anak setiap hari, atau sesering mungkin. Sayangnya saat ini konsumsi makanan hewani di Indonesia masih sangat rendah.

Guna meningkatkan asupan protein hewani, maka akses terhadap makanan hewani perlu diperluas, salah satunya lewat program makan bergizi gratis. Namun, tetap harus dipastikan agar sumber pangan yang dipakai dipastikan keamanan dan kehalalannya.

Baca juga: Perbedaan Protein Hewani dan Nabati untuk Mencegah Stunting pada Anak

Evaluasi tiga model

Tantangan lain dari program makan bergizi gratis adalah luasnya wilayah Indonesia dan beragamnya budaya serta kondisi masing-masing sekolah. Belum lagi soal kebiasaan makan dan ketersediaan bahan pangan lokal yang berlainan.

Untuk mengetahui model pemberian makan bergizi gratis yang tepat, PT.Japfa Comfeed Indonesia bekerja sama dengan PKGK UI melakukan studi untuk mengukur kecukupan gizi anak Indonesia dan menguji tiga model pemberian makan.

Ada pun tiga model pemberian makan yang diuji adalah siap makan (ready to eat/RTE), siap masak (ready to cook/RTC), dan swakelola.

Pada model RTE dilakukan dengan menunjuk salah satu katering rekanan untuk memasak makanan yang didistribusikan kepada siswa di sekolah. Pemilihan menu oleh katering dan dikoreksi oleh PKGK UI.

Sedangkan pada model RTC, sekolah mengelola produksi makanan untuk diberikan kepada anak-anak. Bahan baku protein disiapkan oleh Japfa.

Model kelola berupa sekolah mengelola dana yang disediakan dengan cara membentuk tim untuk memproduksi bahan makanan, mulai dari pengadaan, memasak, hingga pemberian makanan. Untuk pemilihan menu tetap dikonsultasikan kepada tim dari PKGK UI.

Baca juga: Selain Gizi, Ini Faktor Penyebab Stunting Sulit Turun

"Sebelum dimulai program, kami terlebih dulu melakukan wawancara mendalam dengan sekolah, para siswa, dan juga orangtua untuk mengetahui pola makan anak-anak. Selain itu juga dilakukan pengukuran antropometri pada siswa," papar Prof.Fika.

Dari ketiga model pemberian makanan bergizi yang dilakukan, model Swakelola memiliki tingkat konsumsi tertinggi diantara siswa dengan persentase 84 persen, diikuti oleh Ready to Cook (RTC) dengan persentase 83 persen.

Hasil studi juga menunjukkan, sebelum dimulainya program, sumber protein hewani para siswa adalah telur, susu, daging ayam, dan juga ikan. Hanya 2 persen saja yang rutin mengonsumsi daging sapi.

"Secara keseluruhan, jumlah anak dengan status gizi buruk atau kurang, berkurang 2,8 persen pasca program. Program ini berhasil meningkatkan asupan gizi siswa, terutama dalam hal protein dan buah yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan siswa," jelas Prof.Fika.

Selain itu, setelah enam minggu program terdapat peningkatan berat badan sebesar 1.5 kilogram dan tinggi badan 1 cm di antara siswa yang berpartisipasi.

Menurut Prof.Fika, sebelum program berjalan diperlukan screening status gizi untuk penyesuaian pada kelompok yang membutuhkan asupan gizi tertentu sehingga dapat mencegah terjadinya gizi lebih atau obesitas.

Studi pemodelan pemberian makan bergizi gratis dari Japfa ini dilakukan di lima daerah, dengan perincian dua wilayah semi urban yaitu SDN 06 Batang Anai Padang Sumatera Barat dan SDN 01 Duyungan, Sragen Jawa Tengah; wilayah rural yaitu SDN 03 Sungai Pinyuh Mempawah Kalimantan Barat, Posyandu Kecamatan Buluwalang Malang Jawa Timur, dan wilayah urban yaitu SD Buqatun Mubarakah dan TK Asoka di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dengan total ada 1.143 anak yang mendapatkan makanan.

Direktur Corporate Affris Japfa, Rachmat Indrajaya, mengatakan banyak hal yang bisa dipelajari dari studi tersebut, terutama untuk menganalisis setiap model pemberian makan bergizi yang paling sesuai berdasarkan karateristik tiap daerah.

"Tujuannya adalah untuk menganilisis efektivitas setiap model sekaligus memantau proses produksi, pemenuhan kebutuhan gizi, hingga distribusinya. Kami juga ingin hasil studi ini bisa menjadi rekomendasi bagi pemerintah agar pelaksanaan program makan bergizi gratis berjalan baik," katanya.

Baca juga: Badan Gizi Nasional Tak Tentukan Menu Makan Bergizi Gratis, Susu Bisa Diganti Telur

Nilai ekonomi

Selain mengukur pemodelan pemberian makan yang tepat, studi tersebut juga bisa melihat penyusunan rentang biaya yang bisa disesuikan dengan daerahnya.

Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Food Security Review (IFSR), I Dewa Made Agung, model RTC dan Swakelola adalah model yang dapat mencapai target biaya di bawah Rp 15.000 per anak. Biaya tersebut mencakup memasak, distribusi ke sekolah, dan pencucian tray.

"Lebih spesifiknya, model RTC menghasilkan biaya yang termurah. Hasil penelitian IFSR di Sukabumi anggaran per anak dengan menu bergizi berkisar Rp 11.000 - Rp 12.000 tanpa susu," katanya.

Dewa menambahkan, model RTC menjadi model dengan biaya produksi paling rendah di antara ketiga model karena tidak berorientasi profit, walau tetap mengupah pekerja, dan langsung menerima protein hewani dari produsen (dalam studi mendapat pasokan dari Japfa).

Selain itu, pada model RTC dan swakelola memiliki tingkat penerimaan yang lebih baik. Para siswa juga dapat menghemat uang jajan.

"Tidak kalah penting adalah program makan bergizi gratis bisa menjadi ajang edukasi terkait gizi dan hidup sehat bagi siswa dan orangtua," katanya.

Jika sesuai dengan komitmennya, program ini dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dalam jangka menengah dan jangka panjang, termasuk menciptakan lebih banyak kesempatan kerja dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

Baca juga: Makan Bergizi Gratis Harus Bebas dari Pangan Tinggi Gula, Garam, dan Lemak

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau