Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Resistensi Antimikroba Bisa Jadi Pandemi Baru Bersifat Katastropi

Kompas.com - 03/11/2024, 10:31 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

KOMPAS.com - Peneliti dalam bidang Penyakit Dalam dr. Yanri W. Subronto, Ph.D., Sp.PD. mengatakan bahwa antimicrobial resistance (AMR) atau resistensi antimikroba berisiko menjadi pandemi baru.

"Antimicrobial resistance sekarang bisa dikatakan menjadi pandemi yang baru. Hal ini belum disadari oleh semua orang," kata Yanri dalam Webinar Pra-Munas Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA) pada Sabtu (2/11/2024).

Wakil Sekretaris Jenderal V PP KAGAMA ini mengatak bahwa antimicrobial resistance bisa menjadi katastropi di bidang kesehatan, lebih berbahaya daripada Covid-19.

"Kita tahunya kemarin Covid-19 datang, kemudian lewat. Tetapi, pandemi yang sekarang ini, antimicrobial resistance, bisa sangat berbahaya dan bisa menjadi katastropi di bidang kesehatan, jika kita tidak mengedukasi, mengadvokasi, dan bergerak sekarang ini," ujar Yanri yang juga merupakan anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).

Baca juga: Cegah Resistensi Antimikroba, Kemenkes Ajak Masyarakat Bijak Gunakan Antibiotik

Apa itu resistensi antimikroba?

Dekan Fakultas Farmasi UGM Prof. Dr. apt. Satibi, M.Si. menerangkan bahwa resistensi antimikroba terjadi ketika bakteri, virus, jamur, dan parasit berubah seiring waktu dan tidak lagi merespons obat-obatan (antibakteri, antivirus, antijamur, atau antiparasit).

"Ini yang membuat infeksi semakin sulit diobati dan ini meningkatkan risiko menyebarnya penyakit, keparahan penyakit, dan juga kematian," ungkap Satibi dalam kesempatan yang sama.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendeklarasikan pada 2019 bahwa resistensi antimikroba ini sebagai salah satu dari 10 ancaman kesehatan global, bersama dengan polusi udara dan perubahan iklim serta dengue.

"Dampak yang luar biasa saya rasa kaitannya dengan AMR itu baik secara ekonomi dan kesehatan," ucap Satibi.

Hampir 1,3 juta kematian secara langsung disebabkan oleh AMR bakteri. Sementara, satu dari lima kematian yang disebabkan oleh AMR terjadi pada anak di bawah usia lima tahun.

Selain kematian dan kecacatan, resistensi antimikroba menimbulkan biaya ekonomi yang signifikan.

Menurut laporan WHO, Bank Dunia memperkirakan bahwa AMR dapat mengakibatkan biaya kesehatan tambahan sebesar 1 triliun dolar AS (Rp 15,7 kuadriliun) pada 2050, dan kerugian produk domestik bruto (PDB) sebesar 1 triliun dolar AS (Rp 15,7 kuadriliun) hingga 3,4 triliun dolar AS (Rp 53,5 kuadriliun) per tahun pada 2030.

"Ini mestinya menjadi perhatian kita semua," kata Guru Besar Fakultas Farmasi UGM yang mengungkapkan juga bahwa menemukan obat baru membutuhkan waktu lebih panjang dibandingkan terjadinya resistensi antimikroba.

Baca juga: Jutaan Orang Meninggal karena Resistensi Antimikroba, Kemenkes dan WHO Luncurkan Strategi

Apa penyebab resistensi antimikroba?

Satibi mengatakan bahwa banyak faktor penyebab resistensi antimikroba, yaitu meliputi:

  • Penggunaan antibiotik yang berlebihan
  • Penggunaan antibiotik dalam peternakan
  • Kurangnya kepatuhan terhadap pengobatan

"Saya rasa kita semua sudah tahu kaitannya dengan penggunaan antibiotik yang berlebihan, yang ini baik prescriber, dokter, dokter gigi, dan juga dokter hewan, farmasis, apoteker, punya tanggung jawab besar terkait dengan bagaimana penggunaan antibiotik yang rasional (di masyarakat)," ujarnya.

Dalam catatan Satibi, antibiotik di bidang kesehatan manusia sering digunakan sebagai pengganti infrastruktur pemeriksaan yang tidak tersedia, perawatan infeksi yang buruk, dan kebersihan serta sanitasi yang tidak memadai.

Lalu, antibiotik pada hewan sering digunakan sebagai pengganti higiene, diagnosis, dan perawatan berbasis bukti.

Ia juga menyoroti adanya penggunaan antibiotik dosis rendah diberikan pada hewan yang sehat dengan alasan untuk mempercepat pertumbuhan dan penambahan berat badan.

Baca juga: Resistensi Antimikroba di Ruang ICU jadi Penyebab Kematian

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau